Oleh:
HM Joesoef
YUSUF Mansur dikenal lihai mencitrakan dirinya sebagai orang yang peduli. Lihatlah aksinya ketika pada Rabu 28 Februari 2018, menjelang Dhuhur, Gedung Muamalat Tower di Jalan Prof. Dr. Satrio, Kuningan, Setia Budi, Jakarta Selatan, lantai 20, dipenuhi oleh jamaah PayTren dan Darul Quran.
Waktu itu dikabarkan bahwa Bank syariah pertama di Indonesia itu mengalami kesulitan keuangan. Momentum ini dimanfaatkan oleh Yusuf Mansur untuk mendatangkan pasukan PayTren, Darul Quran, dan siapa saja yang bersimpati untuk datang ke Muamalat Tower. Tujuannya satu, ramai-ramai membuka rekening tabungan di Bank Muamalat. Langkah selanjutnya, Yusuf Mansur akan membeli sebagian saham bank tersebut.
Lalu, apa yang terjadi? Peristiwa di Muamalat Tower itu hanya tontonan belaka. Faktanya, Yusuf Mansur tidak jadi membeli sebagian saham Bank Muamalat.
Gagal memborong saham di bank Muamalat, Yusuf Mansur melirik BRI Syariah. Pada Rabu (9/05/2019) BRI Syariah resmi menjual sahamnya di pasar modal dengan melepas 2,62 miliar saham baru (27 persen) dari modal ditempatkan dan disetor penuh.
Munculnya Yusuf Mansur lagi-lagi bikin heboh jagad media di negeri ini. Berbagai judul bombastis dihadirkan, seperti, “Yusuf Mansur Membeli BRIS”, dan lain-lain. Berita tersebut cepat menyebar di berbagai media sosial. Para pengikutnya pun mendukung dengan berbagai argumen lengkap dengan penggorengannya.
Dalam kasus pembelian BRI Syariah, Yusuf Mansur membeli atas nama individu, Koperasi Indonesia Berjamaah (Kopindo) dan Paytren Aset Manajemen. Untuk pebelian saham ini, Yusuf masuk di segmen ritel dengan kontrak pengelolaan dana (KPD), yang besarnya hanya satu persen dari total dana Rp 1,3 triliun. Saham yang dijual hanya Rp. 13 milyar yang dibeli oleh 6037 pihak. Ya, Yusuf Mansur hanyalah 1 dari 6037 pembeli. Jika dibagi rata, masing-masing hanya bisa membeli saham dengan nilai Rp. 2.153.387. Tentu saja, ini adalah angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan pemberitaannya yang bombastis di berbagai media.
Setelah bank Muamalat dan BRI Syariah, pada 8 Agustus 2018 Yusuf Mansur membuat kejutan baru ketika PayTren meneken kerjasama dengan PT Info Media Digital, pengelola portal berita Tempo.co.
Yusuf Mansur pun menuturkan, bahwa, "PayTren bersemangat untuk ikut memiliki Tempo, bukan sekadar menikmati sajian beritanya. Enggak ditawarin aja, kita harus nanya, bisa enggak ikut memiliki? Ya, bismillah," katanya. Dikabarkan juga bahwa Yusuf Mansur akan membeli 5 % dari saham Tempo dengan nilai Rp 27 Milyar.
“Tempo melihat PayTren sebagai komunitas dari berbagai kalangan, bukan hanya para orang tua, pekerja, bahkan berisi orang-orang muda yang dinamis dan mengembangkan diri dengan kemampuan berjejaring yang kuat. Semangat mengubah keadaan menjadi lebih baik itu terlihat jelas pada diri pemimpinnya, Ustad Yusuf Mansur,” kata Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Toriq Hadad saat meneken nota kerja sama, waktu itu.
Rupanya, kerjasama tersebut baru sebatas meneken tandatangan. Belakangan, menurut Yusuf Mansur, pembelian saham itu sifatnya penawaran kepada jamaah. Jika jamaah berkenan, ya jadi, jika tidak ada respon, ya tidak jadi.
***
Dari tiga pembelian diatas, Bank Muamalat, BRI Syariah, dan Tempo, hanya BRI Syariah yang berhasil. Itu pun jumlahnya sangat kecil, sebagaimana tersebut di atas. Para anggota PayTren pun enggan ikut-ikutan membeli saham. Boleh jadi pengalaman dengan bank Muamalat membuat mereka belajar lebih banyak lagi.
Dalam kasus Bank Muamalat, komunitas Yusuf Mansur hanya sebatas membuka rekening. Tidak lebih dari itu. Itu pun nasibnya sekarang tdak jelas. Bisa jadi mereka membuka rekening, lalu diam, sama dengan kebanyakan orang, hanya punya nomor rekening saja. Tak lebih dari itu. Ketika ditanya mengapa gagal membeli saham di Muamalat? Ia menjawab. “Bukan karena kitanya, tapi karena faktor yang ada di Bank Muamalat,” jawabnya, enteng, tanpa beban.
Adapun pembelian saham Tempo, menurut Yusuf Mansur, itu sifatnya penawaran kepada jamaah. Jika jamaah merespon, ya jadi, jika tidak merespon, ya gagal.
Semua pemberitaan tentang bank muamalat, BRI Syariah maupun Tempo, membuat jagad media heboh. Semua media memberitakan secara bombastis. Tapi, media di Indonesia tidak mengawal pemberitaannya secara cermat. Baik dalam kasus bank Muamalat, BRI Syariah maupun Tempo, pemberitaan awal heboh. Kelanjutannya tak ada beritanya.
Inilah yang tidak banyak orang tahu tentang kelanjutan berita-berita awal yang heboh itu. Dalam kasus bank Muamalat, jelas gagal. Dalam kasus BRI Syariah, tidak signifikan, dalam kasus Tempo sama saja.
Tempo, sebagaimana media-media lainnya, hanya memberitakan pembelian saham itu sekali. Itu pun di awal MoU. Setelah itu, tidak ada lagi beritanya. Para pimpinan Tempo pun tidak ada yang berkomentar lebih lanjut. Boleh jadi, kali ini omongan Yusuf benar, “sifatnya penawaran kepada jamaah.”
Rupanya gayung tak bersambut. Tempo bukanlah bacaan jamaahnya Yusuf Mansur. Bukan juga bacaannya orang-orang PayTren. Karena itu wajar jika mereka tidak merespon ajakan Yusuf Mansur.
Rencana boleh gagal. Tetapi nama Yusuf Mansur tetap moncer. Ia menang di start, kedodoran di finish. Ia pandai memanfaatkan media yang rata-rata hanya memberitakan di start, tidak pernah mengawal beritanya sampai finish.
Yusuf memang pandai mem-branding dirinya. Tapi, satu hal yang ia lupa, kebohongan-kebongan yang ia lakukan, lambat laun akan terbuka tabirnya.*