PRESIDEN Joko Widodo atau Jokowi meminta seluruh pihak untuk tidak alergi terhadap adanya investasi, termasuk investasi asing. Sebab, invetasi asing berguna terutama bagi Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Tak ada yang nampak baru dari isi pidato presiden Jokowi yang disampaikan di acara Visi Indonesia, Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Ahad (14/7/2019) lalu.
Pidato yang intinya berisi 5 tahapan mewujudkan visi indonesia yang disebutnya lebih adaptif, produktif, inovatif dan kompetitif dalam menghadapi fenomena global yang sangat dinamis itu hanya menunjukkan satu hal. Yakni, sebuah tekad untuk melanjutkan dan menyempurnakan proyek liberalisasi ekonomi yang memang makin masif di Indonesia. Ke-lima tahapan itu adalah, (1) melanjutkan pembangunan infrastruktur; (2) memberi prioritas pada pembangunan sumber daya manusia; (3) mengundang investasi seluas-luasnya; (4) mereformasi birokrasi agar lebih efektif dan efisien; dan (5) menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Sekilas, dari ke-5 proyek tersebut nampak tak ada yang bermasalah. Patut diingat, dalam konsep ekonomi neoliberal, pembangunan infrastruktur memang menjadi prasyarat mutlak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dan salah satu tolok ukur pertumbuhan ekonomi ini adalah besaran akumulasi modal dan produksi barang jasa sebagai dampak tumbuhnya industri-industri manufaktur atau ekstraktif yang mau tidak mau membutuhkan fasilitas penunjang seperti akses jalan, pelabuhan, bandara, kawasan pergudangan, jalur kereta api dan lain-lain untuk memperlancar arus modal, barang dan jasa. Itulah kenapa, konektivitas dan koridorisasi yang kemudian diistilahkan dengan istilah-istilah keren seperti kawasan ekonomi khusus menjadi hal mutlak bagi suksesnya proyek liberalisasi yang diklaim akan menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Masalahnya, di manakah posisi rakyat banyak dalam skema ekonomi neoliberal semacam ini? Siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi tersebab pembangunan infrastuktur yang jorjoran berbasis bisnis dan padat modal ini?
Faktanya, pembangunan infrastruktur ala sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dilakukan, nyatanya hanya menjadi lahan bancakan bagi korporasi dan lembaga-lembaga keuangan kelas kakap bahkan internasional. Karena meskipun indonesia merupakan negara super kaya, namun kekayaan milik rakyat itu tak ada dalam kekuasaan dan genggaman negara. Sehingga negara tak memiliki modal besar untuk membiayai pembangunan. Jangankan untuk pembangunan infrastruktur, sekedar memenuhi kebutuhan pokok dan asasi rakyat banyak saja sulitnya bukan main.
Ketidakmampuan negara dalam penyediaan modal inilah yang akhirnya ‘memaksa’ negara melibatkan pihak korporasi, terutama asing. Pertanyaannya, inikah yang dimaksud dengan visi indonesia yang ingin dikejar pemerintahan Jokowi? Di mana negara kian mengukuhkan dirinya sebagai mitra korporasi dan menjalin hubungan dengan rakyat seperti hubungan penjual dan pembeli?*
Yuliana
Ibu rumah tangga tinggal di Bandung, Jawa Barat