MASIH ingatkah pada kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak siswa di Jakarta International School (JIS) pada tahun 15 April 2015 silam? kasus tersebut melibatkan para staf kebersihan serta guru. Hingga akhirnya Neil Bantleman dijatuhkan vonis hukuman penjara di Lembaga Permasyarakatan Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur.
Bermula saat sang orang tua korban melaporkan pelaku kepada pihak yang berwajib. sungguh disesalkan kejadian ini membuat masyarakat merasa kecewa terlebih lagi ia adalah seorang guru, yang diamanahkan orang tua murid untuk mendidik anaknya dengan benar. namun nafsu mengantarkannya pada jalan yang salah. Warga negara kanada ini melakukan tindakan tidak senonoh pada muridnya sendiri berserta beberapa staf kebersihan dari sekolah tersebut.
Kasus ini memang sudah telah berlalu, namun luka lama masih membekas pada korban dan keluarga korban. susah untuk dilupakan, hal yang wajar jika mereka masih merasa marah atas tidakan kekerasan seksual tersebut. Tak ada angin, tak ada hujan Kabar kebebasan Neil selaku pelaku pedofil itupun muncul di permuakaan, sebab mendapatkan grasi dari presiden, hingga masa tahanannya berkurang dan tepat bebas dari penjara pada tanggal 19 Juni 2019 yang lalu.
Dan hal inipun di benarkan oleh pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM dengan mengonfirmasi bahwa Neil Bantleman mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo pada 19 Juni lalu.
"Neil Bantleman mendapat grasi dari presiden pada 19 Juni 2019," kata Kepala Bagian Humas Ditjen PAS Ade Kusmato saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com.
Grasi yang diberikan Jokowi tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13/G Tahun 2019 tertanggal 19 Juni 2019. Hukuman mantan guru JIS itu berkurang dari 11 tahun menjadi 5 tahun dan 1 bulan penjara serta denda Rp100 juta.
Sangat disesalkan tindakan pemberian grasi pada pelaku pedofil ini, - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Anggota KPAI Putu Elvina mengatakan grasi Jokowi menjadi lembaran hitam terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia. Putu menyebut kasus pelecehan seksual siswa JIS itu menjadi komitmen pemerintah memberi perlindungan kepada anak-anak.
"Ini masih menjadi lembaran hitam upaya perlindungan anak," kata Putu saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Jumat (12/7).
Ia menilai pemberian grasi kepada terpidana kasus pelecehan seksual tentu bertolak belakang dengan upaya pemerintah melakukan perlindungan anak-anak dari kekerasan seksual. Menurutnya, sebelum memberikan grasi seharusnya Jokowi mempertimbangkan nasib korban kekerasan seksual.
Putu mengatakan orang-orang di sekitar Jokowi harus bisa memberikan pertimbangan yang tepat untuk menjelaskan substansi sebelum memberikan grasi kepada narapidana, termasuk Neil. Menurutnya, setiap pemberian grasi harus melewati pendalaman dari mulai pengajuan sampai dengan proses penilaian. Tak hanya itu, orang tua para korban pun turut kecewa atas pemberian grasi pada pelaku.
Lantas Kemanakah Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak?
maka hal yang wajar jika sekarang masyarakat mempertanyakan undang-undang perlindungan anak yang sudang di buat oleh para pembuat hukum dan sudah di sahkan yang pasti memakai dana yang tidak sedikit. Dari undang-undang no 23 tahun 2002 lalu kemudian ada perubahan dengan diterbitkannya uu no 35 tahun 2014. Kurang apalagi aturan untuk perlindungan anak dibuat, namun tak juga mampu menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual anak. terlebih aturan ini pun menjadi celah bagi anak untuk berlaku sewenang-wenangnya. Sungguh aturan yang mampu menjadi pisau tajam yang siap menikam siapa saja. Alih-alih melindungi malah menjadi senjata tajam. Lantas semakin jelas terlihat wajah asli kebebasan dan HAM dalam demokrasi yang dijalankan saat ini, bagaimana sangat rancu, riskan dan ambigu untuk diterapkan.
Sehingga sistem ini membuat masyarakat kacau dan menderita berbagai krisis sosial, moral, spiritual dan ekonomi yang kompleks, itu semua tidak hanya di Barat yang menganut sistem demokrasi ini sebagai dokrin dan sistem dalam kehidupan, tetapi juga di seluruh dunia yang telah terjangkiti penerapan sistem yang rusak ini.
Hal ini disebabkan karena momok pelecehan dan eksploitasi seksual, homoseksualitas dan kejahatan moral dalam segala bentuknya adalah konsekuensi alami dari penuhanan kebebasan, terutama kebebasan seksual, dan penyimpangan dari naluri manusia.
Dan sistem buatan manusia manapun yang meninggalkan hukum penciptanya (Allah) dan mengabaikannya, hanya akan menimbulkan permasalahn baru dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang lama. Sejalan dengan firman Allah :
''Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta'' (Q.S Thaha : 124).
Sehingga wajar saja jika permasalahan apapun yang ada saat ini seperti halnya kekerasan seksual dan kasus pedofil ini tidak kunjung usai, sebab peraturan yang dibuat tidaklah sesuai dengan yang diturunkan oleh Sang Pencipta, Allah SWT.
Oleh karena itu, solusi terbaik untuk mengatasi kesempitan hidup ini adalah kembali menyatukan kaum Muslim dengan ajaran Islam. Kembali kepada Alquran dan Sunnah, serta mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya pribadi. Niscaya Allah akan menghilangkan kesempitan hidup ini, dan Dia akan melimpahkan keberkahan.
''Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan limpahkan kepada mereka keberkahan dari atas langit dan dari perut bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.'' (QS Al-A’raaf :96).Wallahu’alam bi shawab.*
Andi Putri Marissa, S.E
Relawan Penulis Balikpapan