View Full Version
Senin, 29 Jul 2019

Mencetak Generasi Penyejuk Jiwa

POTRET buram generasi Indonesia bagian dari fenomena yang butuh di sikapi dengan bijaksana oleh semua pihak yang sangat dekat dengan tumbuh kembang mereka. Baik oleh keluarga, masyarakat juga negara.

Sungguh miris jika kita mendapati realitas bahwa harapan besar bangsa terhadap generasi ibarat cinta  bertepuk sebelah tangan. Sangat minim generasi menyadari potensi mereka sebagai pemegang estafet peradaban. Terlebih potret buram ini berkaitan dengan potensi fisik yang digerogoti oleh virus yang mematikan dan penyebabnya tidak lebih karena gaya hidup bebas.

Seperti yang di lansir oleh beberapa media beberapa hari terakhir ini seiring dengan di peringatinya Hari Anak Nasional, bahwa remaja menjadi rangking teratas pengidap virus HIV/AIDS.

Sebagaimana data yang dirilis Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Gorontalo yang mencatat, hingga Maret 2019, penderita penyakit ini mencapai 484 orang, 61 orang di antaranya adalah pelajar dan mahasiswa. “KPA terus melakukan edukasi penyadaran kepada kaum muda. Mereka yang berada di usia produktif yang paling banyak terinfeksi virus ini. Seks bebas dan penyalahgunaan obat terlarang menjadi dua faktor utama,” kata Idah Syahidah, ketua Tim Asistensi KPA Gorontalo.

Demikian pula yang terjadi di Purbalingga. Jumlah penderita Human Immunodeficiecy Virus (HIV) dan Acquiered Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Kabupaten Purbalingga semakin bertambah. Ironisnya, dari banyaknya penderita HIV/AIDS di Purbalingga, mayoritasnya adalah kaum remaja kisaran usia 16-20 tahun.

Dalam skala nasional pun pengidap HIV/AIDS di dominasi oleh remaja, sebagaimana yang disampaikan oleh menteri sosial Agus Gumiwang Kartasasmita bahwa, angka pengidap HIV-AIDS di Indonesia masih tergolong tinggi. Mengutip data Kementerian Kesehatan, Mensos menyatakan, sampai tahun 2018, tercatat sebanyak 314.143 kasus HIV dan 111.973 kasus AIDS. 

“Penyebaran tertinggi pada kelompok umur 20 – 49 tahun. Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan karena populasi tertinggi justru ditemukan pada usia produktif yang seharusnya jadi subyek dan penggerak pembangunan.

Jauh sebelumnya lonjakan  ini sudah diprediksi, tepatnya  tahun 2018, bahwa data tahun 2017 lalu berdasar laporan Kementrian kesehatan RI, jumlah kasus HIV AIDS meningkat. Berdasar data tersebut, secara kumulatif terdapat 102.667 kasus AIDS dan 280.623 kasus HIV positif. Potensi HIV AIDS ini disebut paling rentan menyerang penduduk usia muda terutama remaja. Jumlah usia muda ini berdasar hasil sensus tahun 2010 sekitar 25 persen dari total penduduk Indonesia.

Demikian pula data yang di rilis oleh WHO bahwa jumlah remaja yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) naik sepertiga dalam 10 tahun terakhir. Data baru yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan lebih dari dua juta remaja berumur 10-19 tahun saat ini hidup dengan HIV.Peningkatan jumlah terbesar terjadi di wilayah sub-Sahara Afrika. Para remaja ini telah lahir dengan HIV di dalam tubuhnya. Ada pula remaja putri yang terkena virus mematikan itu ketika melakukan hubungan seksual tanpa kondom.

Di Asia, kelompok yang paling rentan adalah pengguna narkoba. "Remaja putri dan putra yang melakukan seks bebas, pemakai narkoba suntik, atau mereka yang terkena pelecehan seksual, berada pada risiko tinggi," kata Kepala Program HIV di UNICEF, Craig McClure.

“Prestasi” buruk ini, tamparan yang tidak hanya di bebankan pada keluarga. Seks bebas dan penggunaan narkoba yang menjadi pemicu tingginya angka penderita HIV/AIDS dikalangan remaja terjadi karena dahsyatnya serbuan liberalisme atau pemahaman gaya hidup semau gue. Remaja menjadi sosok yang menjauh dari aturan dan norma norma agama. Liberalisme mendorong mereka menuhankan syahwat dan tuntutan eksistensi menjadikan mereka bar bar.

Terlebih dengungan HAM membuat mereka semakin berani melabrak semua nilai dan norma tersebut. Keluarga sebagai institusi terkecil, sangat tidak mampu menahan gempuran dahsyat tsunami liberalisasi.

Serangan liberalisme hanya mampu di bendung bahkan dijauhkan oleh kekuatan institusi berupa negara. Tentunya Negara yang mengadopsi aturan dan norma yang sempurna dan paripurna yaitu ideologi Islam. Ideologi yang mensinergikan ruhiyah (agama) dan siyasiyah (urusan kehidupan), dengan demikian remaja akan terselamatkan baik secara preventif maupun kurativ.

Mempercayakan solusi pengentasan remaja dari serangan liberalisasi yang berefek pada meningkatnya data penderita HIV/AIDS di kalangan remaja kepada ideology sekuler yang mengemban nilai nilai liberal justru bukan  solusi namun kesia-siaan dan kemustahilan.

Sebagaimana yang dilansir bahwa Indonesia bekerjasama dengan Amerika Serikat, melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan perusahaan perawatan kesehatan global Abbott, bekerjasama mendukung Indonesia dalam meningkatkan akses terhadap layanan diagnostik dan pengobatan HIV/AIDS yang berkualitas bagi mereka yang membutuhkan.

Abbott dan USAID akan mempercepat kemajuan Indonesia dalam mencapai target dengan menyediakan teknologi dan sumber daya yang dibutuhkan sehingga lebih banyak orang yang bisa menjalani tes HIV --dengan fokus khusus pada Jakarta dimana kasus HIV sangat terkonsentrasi.

Aroma motif ekonomi begitu kencang tercium dari kerjasama tersebut. Termasuk program kondomisasi yang sering kali dinarasikan mampu meredam atau merendahkan angka ODHA (orang Dengan HIV/AIDS). Sama sekali terbantahkan dengan data penderita yang dari tahun ke tahun semakin tinggi. Sungguh miris.

Dalam sejarah Islam, posisi negara sebagai penganyom hidup rakyat senantiasa mengembalikan kebijakannya kepada sumber hukum, al qur’an dan as sunnah. Sepanjang 13 abad, kebijakan politik direalisasikan secara komprehensif. Dirasakan oleh individu, keluarga dan masyarakat. Menyentuh semua aspek kehidupan, baik itu kebutuhan terhadap agama, kebutuhan terhadap interaksi sosial juga kebutuhan melestarikan hidup dalam kesejahterahan, aman dan jauh dari kebodohan.

Termasuk di dalamnya kebijakan negara mencetak generasi penyejuk jiwa. Berangkat dari firman-NYA " Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyejuk jiwa, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa « (QS. Al Furqon 74)

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu  berkata: “Qurrota a’yun atau penyejuk jiwa, maksudnya adalah keturunan yang mengerjakan ketha’atan, sehingga dengan ketha’atannya itu membahagian orang tuanya di dunia dan akhirat.”

Keturunan yang tha’at pada Allah akan menyenangkan orang tua dengan bakti dan pelayanannya. Akan menyejukkan hati orang tua dan keluarga dengan membacakan dan mengajarkan mereka mentadabburi al-Quran dan as-Sunnah. Keturunan yang taat pada Allah juga lebih bisa diharapkan menjaga keutuhan keluarga di atas agama yang mulia ini dan lebih bisa diharapkan doanya dikabulkan Allah untuk kebaikan orang tua dan keluarga. Mereka menjauhi maksiat, pergaulan bebas begitu juga akan menjauhi perkara perkara yang akan menjerumuskan kehidupan mereka kepada kemaksiatan.

Negara akan mempersiapkan individu individu agar mampu memfungsikan peran masing masing menjadi orang tua yang bertanggung jawab terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana perintah Allah menciptakan generasi penyejuk jiwa :

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواقُواأَنْفُسَكُمْوَأَهْلِيكُمْنَاراًوَقُودُهَاالنَّاسُوَالْحِجَارَة

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At-Tahrim : 6).

Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya yaitu ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.” 

Demikianlah seharusnya proteksi negara terhadap tumbuh kembang generasi, sehingga mereka tidak terjerumus dalam kubangan kemaksiatan.  Malah sebaliknya, proteksi ini akan menjadikan mereka siap meneruskan tongkat estafet peradaban bangsa.*

Lailin Nadhifah

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban


latestnews

View Full Version