View Full Version
Senin, 29 Jul 2019

Anak Indonesia, Sudahkah Merasa Bahagia?

DISAAT  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menetapkan “Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak” sebagai tema perayaan Hari Anak Nasional tahun ini dan “Kita Anak Indonesia, Kita Gembira” sebagai slogan kegiatan, kita tentu patut menyambutnya. Namun tak cukup jika menyambut tanpa tau apa yang terjadi pada anak-anak di negri yang baru melewati gonjang-ganjing pesta Demokrasi ini.

Temuan “Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNHPAR) 2018” yang diterbitkan KPPPA menggugah perhatian. Salah satu temuan survei tersebut menyatakan: 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan (emosional dan fisik) adalah teman atau sebaya. Salah satu kelompok responden pada temuan di atas adalah anak-anak di rentang umur 13-17 tahun.  Kesimpulannya, selain rentan menjadi korban, anak-anak juga rentan menjadi pelaku kekerasan.  Ini yang membuat mereka  menyandang status ABH (Anak Berhadapan Hukum). 

Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar menyebutkan 9,9 juta anak rentan terhadap kekerasan. Dan terkait hal tersebut, ia juga menegaskan pihaknya tak akan tebang pilih dalam memandang sekaligus menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap anak.  "Korban anak maupun pelaku anak harus tetap menjadi perhatian kami," kata Nahar. (tirto.id, 23/7)

Kasus yang mencuat terkait MOS berujung maut di Palembang, atau kasus Audrey yang juga sempat menyita banyak perhatian publik, sedikit memberi gambaran kekerasan (fisik) yang tak pernah sepi menghias media.  Belum lagi yang terkait KDRT yang tergolong cukup tinggi di sini.

Menurut kepolisian pun sepanjang  2018 hingga Februari  2019 saja  ratusan kasus kriminal dilakukan remaja bersatus pelajar SD, SMP dan SMA.  Kasusnya meliputi pengeroyokan,  pencurian, penganiayaan dan tawuran, bahkan pembunuhan. Kapolres  Metro Jakarta Barat, Komisaris Besar Hengki Haryadi mengatakan bahwa tindakan kejahatan remaja memiliki hubungan kuat dengan penggunaan narkoba. “ Para tersangka menggunakan narkoba dan obat daftar G-seperti tramadol- sebelum beraksi,” kata Beliau. (tempo.co, 15/3).  

LPSK juga mencatat ada peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) yang terjadi sejak 2016 sejumlah 25 kasus, lalu meningkat pada 2017 menjadi 81 kasus, dan puncaknya pada 2018 menjadi 206 kasus. Angka tersebut terus bertambah setiap tahun.  Selain itu, Wakil Ketua LPSK Achmadi mengungkap kenaikan juga terjadi pada permohonan perlindungan dan bantuan hukum tindak pidana kekerasan seksual pada anak. Menurutnya, pada 2016, ada 35 korban, lalu meningkat pada 2017 sejumlah 70 korban, dan sebanyak 149 korban pada 2018.  "Sampai dengan bulan Juni 2019 telah mencapai 78 permohonan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak," ungkap Achmadi. 

Pelaku kekerasan seksual terhadap anak didominasi oleh orang terdekat sebesar 80,23 persen. Sedangkan sisanya 19,77 persen dilakukan oleh orang tidak dikenal.  "Pelaku kekerasan seksual sebagaimana diketahui adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dengan korban atau dikenal oleh korban, sangat sedikit peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak dikenal oleh pelaku," ucap Achmadi. (detik.com, 24/7).

Memprihatikan kondisinya.  Kekerasan, narkoba, kriminalitas dan berujung jadi korban dirawat di rumah sakit. Bahkan tak sedikit berujung kritis dan tewas. Ada juga yang mengalami kekerasan seksual, yang akhirnya mengalami KTD atau malah dimakan predator penganut pedofilia. Lebih miris lagi, banyak yang harus menghadapi urusan hukum karena menjadi pelaku kekerasan fisik atau seksual.  Sungguh nurani kita akan bertanya  akankah mereka merasa bahagia ? Kalau sulit sekali mencari tempat yang aman, bahkan di tengah keluarga sekali pun.

 

Kasus Kekerasan Anak Marak, Ada Apa ?

Meningkatnya kasus kekerasan pada anak sesungguhnya menandakan adanya pemahaman yang salah dalam masyarakat, termasuk para orang tua. Keberadaannya sebagai ‘anak’ seolah tidak disadari, bahkan seolah dianggap obyek yang berada dalam kekuasaannya sehingga dapat diperlakukan sekehendak hati. 

Ketika keluarga tak mampu menjaga buah hatinya, bahkan dengan tega menyakitinya mulai dengan tindakan mencubit sampai memberi hukuman yang berat bisa jadi sikap ini akan diikuti oleh anak tsb. Kurang kasih sayang, selalu dimarahi dan disakiti dapat memunculkan sikap kasar dan pemarah pada anak. Ujungnya, ketika dalam proses pertemanan atau di lingkungan ada masalah, tak jauh-jauh solusinya kecuali kekerasan juga.

Maka tak salah, Psikolog Anak dan Remaja Irma Gustiana menganalisa bahwa anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, makanya mencari pemuasan psikologis di luar.  “Sedangkan dari sisi eksternal seperti lingkungan pergaulan, seorang anak bisa menjadi pelaku kriminal demi mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebayanya,” kata Irma . (tirto.id).

Tak bisa dipungkiri, banyak orang tua kini yang salah dalam mendidik. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa menghukum anak dengan cara kekerasan seperti memukul dan mencubit adalah tindakan yang wajar. Ini dianggap sebagai cara untuk membuat anak menurut dengan aturan yang dibuat oleh orang tua. Hal seperti ini adalah kesalahan besar dalam cara mendidik anak, sekaligus bentuk ketidakmampuan orang tua dalam mengomunikasikan mana yang baik dan mana yang buruk pada anak.

Itu problem yang dipicu pengasuhan yang salah di keluarga.  Sedangkan kekerasan seksual, menurut Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati - baiik kasus pedofilia, video mesum yang melibatkan anak maupun perkosaan siswi sekolah- merupakan mata rantai panjang dengan penyebab yang kompleks.  Penyebab itu antara lain, tantangan eksternal, faktor ekonomi dan pengasuhan orang tua yang kurang. 

Ada tantangan eksternal yang kuat misalnya pornografi dan teknologi yang mengakibatkan terjadinya KSA.  Maraknya pornografi dalam berbagai bentuk, membuat mudah terpapar pornografi secara terus menerus, dan akan mempengaruhi akal dan pikiran.  Kemajuan teknologi menambah kemudahan anak mengakses pornografi.  Minimnya literasi media ramah anak dan ruang publik ramah anak membuat anak tidak memiliki pilihan lain dalam memanfaatkan waktunya.

Faktor ekonomi, terutama kemiskinan menjadi alasan untuk melakukan eksploitasi seksual pada anak. Bahkan ada kasus seorang ayah sampai tega mengeksploitasi anaknya sendiri seperti yang terjadi pada video porno dari Bandung demi uang.  Atau di Medan, kasus bibi "jual" ponakan demi uang. Namun faktor yang paling penting adalah minimnya pengasuhan orang tua. (muslimahnews.com).

Mengapa kasus selalu ada bahkan makin  banyak?  Kurang beratkah sanksi atas tindak kriminal seperti ini?  Sebenarnya, ada beberapa aturan yang ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada anak, yaitu UU No 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yang melindungi anak dari kekerasan secara umum termasuk kekerasan seksual.   Jika kekerasan seksual terjadi dalam ruang lingkup keluarga, maka pelaku juga dapat dijerat dengan UU no 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Tahun 2014, UU no 23 Tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memberikan pemberatan sanksi pidana dan denda yang lebih tinggi bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual.  Pemberatan hukuman dengan penambahan pidana 1/3 (sepertiga) juga ditetapkan jika pelaku adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan”. Hal ini mencakup janin, bayi, balita, dan anak-anak sampai berusia 18 tahun. Undang-undang ini membahas tentang tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak di muka hukum. 

Meski pun sudah dibuat aturan hukum bahkan ada pemberatan untuk menjerat pelaku kekerasan pada anak, namun kasus child abuse  justru makin naik setiap tahun.  Sungguh menunjukkan persoalan ini sangat kompleks.

Semua bermula dari sekuler- liberal, yang menjauhkan peran agama hanya dalam ranah privat.  Bahkan dalam mendidik anak pun , umat  telah banyak terpengaruh pola asuh di luar Islam.  Kebebasan yang di Barat sendiri menghasilkan  generasi yang rusak secara moral, di negri ini justru diadopsi. Termasuk untuk mendidik generasi, dan interaksi di masyarakat.

Maka kerusakan yang terjadi di dunia Barat, akhirnya kita tuai juga di negri ini. Hancurnya institusi keluarga,  perceraian, anak yang "yatim piatu" walau masih punya ayah dan ibu yang lengkap, atau bisnis pornografi -prostitusi yang tak tersaring di media telah  jamak kita dengar, bahkan dengan data yang sangat mengkhawatirkan.

Dibutuhkan penanganan holistik , terhadap keluarga , masyarakat juga perlu aturan yang tegas dan menjerakan agar bisa menuntaskan problem yang sudah sangat kompleks. Tentu dengan membuang paradigma, dan sistem hidup yang anti Islam. Karena tanpa agama dan tetap liberal akan terus melahirkan kekerasan dengan berbagai modusnya bagi anak. Maka berharap anak bahagia di sistem yang rusak, tentu bagai ilusi alias mimpi.

 

Islam Melindungi Generasi

Islam sebagai dien yang sempurna, memandang anak sebagai amanah Allah yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Dengan demikian, mereka merupakan ladang amal orangtuanya.  Anak sendiri didefinisikan sebagai orang belum memasuki usia baligh.  Batasan adalah telah haid atau ihtilam (mimpi basah).   Atau berusia di bawah 15 tahun.

Pandangan seperti ini akan membuat orangtua berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Cermat mengidentifikasi hal-hal apa yang bisa merusak kepribadian anak, agar ketika dewasa mampu mengemban taklif (beban hukum) dari Allah Swt.

Orangtua pun akan berupaya menjadikan dirinya dan keluarga menjadi sebuah benteng yang akan melindungi anak-anaknya dari hal-hal yang bisa mencelakakan. Di sinilah peran keluarga yang memegang peranan penting dalam menjaga dan mengawasi anak-anak dari ancaman apapun.

Namun hidup manusia tak bisa di rumah saja.  Dia akan berada di masyarakat dan lingkungan sekitar.  Maka dibutuhkan masyarakat yang bertakwa, yang selalu peduli terhadap persoalan yang menyangkut anak. Anak orang lain akan dianggapnya anak sendiri, bila menyangkut aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Anak siapapun akan berusaha diselamatkannya dari aktivitas kejahatan dan perbuatan maksiat.

Begitu pula Negara. Dia yang memiliki peran paling besar, karena mampu membuat aturan yang dapat menyuruh warganya berbuat baik atau mencegahnya dari perbuatan yang buruk.

Negara menerapkan sistem dan hukum Islam secara menyeluruh. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan  akan mendistribusikan kekayaan secara berkeadilan dan merealisasi kesejahteraan. Kekayaan alam dan harta milik umum dikuasai dan dikelola langsung oleh negara. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik langsung maupun dalam bentuk berbagai pelayanan.

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Negara akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu (pangan, sandang, dan papan); juga akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar akan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan begitu, tekanan ekonomi sebagai salah satu faktor pemicu terbesar munculnya pelanggaran terhadap hak anak bisa dicegah sedari awal.

Kaum ibu juga tidak akan dipisahkan dari anak-anak mereka. Kaum ibu bisa melaksanakan fungsi sepenuhnya dalam merawat dan mendidik anak-anak mereka. Bukan malah bekerja meninggalkan tanggung jawab mendidik dan mengasuh buah hati.

Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap anak. Namun, jika masih ada yang melakukan itu, maka sistem ‘uqubat (sanksi hukum) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat. Caranya adalah dengan pemberian sanksi hukum yang berat, yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain berbuat serupa.

Pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian anak, tanpa kekerasan seksual, akan dijatuhi hukuman qishash. Pelaku pedofili dalam bentuk sodomi, meski korban tidak sampai meninggal, akan dijatuhi hukuman mati.

Rasulullah Saw telah  bersabda:

“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).

Sebagai korban, tentunya anak tidak akan dikenai sanksi. Sebaliknya, ia akan dilindungi dan dijaga kehormatannya.

Jika kekerasan seksual terhadap anak itu dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya jika muhshan (sudah menikah), akan dirajam hingga mati; sedangkan jika ghayr muhshan (belum menikah), akan dicambuk seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir, yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan ijtihad Khalifah dan qadhi (hakim).

Demikian bila ketiga komponen ini dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal, maka kekerasan terhadap anak akan dapat diakhiri secara tuntas. Sayang, di negri mayoritas muslim ini, syariah sangat sering dipersoalkan.  Kelompok pengusung ide liberal paling gencar meneriakan anti formalisasi Islam kaffah. Bahkan baru berupa wacana pun sudah dilarang. Why?  Karena hegemoni kapitalis yang merusak akan sirna, bisnis porno yang meguntungkan akan dibabat habis, dan semua yang mudhorot untuk perlindungan generasi akan ditumpas.  Sungguh kita butuh  solusi holistik dan proteksi yang tangguh yaitu sistem Islam.  Wallhu’alam bishawab.*

Mila Ummu Tsabita

Pegiat Sekolah Bunda Sholiha


latestnews

View Full Version