PENDIDIKAN menjadi perkara yang sangat urgen di era globalisasi saat ini. Banyak orang yang mencari universitas-universitas yang berkualitas terbaik tentunya. Mulai dari taraf nasional maupun internasional. Maka wajar mereka berlomba-lomba memperbaiki atau meningkatkan kualitas universitasnya. Apalagi sejak adanya slogan World Class University atau research university dalam satu dekade yang semakin gencar disebar luaskan, khususnya pada perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi dibelahan dunia manapun akhirnya bercita-cita ingin menjadi satu diantara sekian banyak World Class University.
Hal tersebut juga menjadi motivasi besar bagi Universitas Sumatera Utara (USU).Pada 2020, Universitas Sumatera Utara (USU) akan memfokuskan internasionalisasi perkuliahan sebagai langkah untuk masuk dalam sistem pemeringkatan internasional (QS Ranking).
Demikian Rektor USU Prof Dr Runtung Sitepu, SH, MHum kepada “Analisa” ketika ditemui di kampus USU, Senin (22/7). Dikatakannya, saat ini, USU tengah mempersiapkan diri menuju ke arah tersebut dengan melengkapi 27 aspek yang masuk dalam kategori QS World Ranking. Di mana salah satu aspek tersebut yakni aspek internasionalisasi perkuliahan yakni dengan mengirim para dosen USU mengajar di universitas luar negeri. "Demikian juga sebaliknya, kami juga mendatangkan dosen-dosen dari luar untuk memberikan materi kuliah di USU," paparnya sembari mengutarakan seiring dengan itu, USU juga akan mengirimkan para mahasiswanya untuk berkuliah satu kredit semester di universitas-universitas di luar negeri. Demikian juga sebaliknya kami juga memberikan kesempatan mahasiswa dari perguruan tinggi mancanegara untuk berkuliah di USU selama satu semester.
"Untuk itu, terkait sarana dan prasarana sudah mulai disiapkan sejak tahun ini, untuk menyambut puncak pelaksanaannya pada 2020," paparnya.
Secara umum, World Class University dipahami sebagai mekanisme perankingan Perguruan Tinggi dalam skala internasional dengan indikator yang ditentukan oleh lembaga riset / institut perankingan seperti QS,THE, Webometric, SJTU, dll.
Indikator penilaian yang dimiliki oleh setiap lembaga riset / institut perankingan berbeda-beda, secara umum indikator tersebut mencakup operasional, fasilitas, metode, dan lulusan perguruan tinggi yang mampu bersaing di tingkat internasional.
World Class University (WCU) saat ini menjadi gelar atau label acuan bagi hampir seluruh Perguruan Tinggi (PT) di dunia untuk membangun pendidikan di kampusnya sesuai dengan standar WCU. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri (prestige) bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan di PT yang masuk dalam rilisan peringkat WCU. Selain itu, PT akan memiliki reputasi internasional yang istimewa tentunya jika terdaftar dalam PT berlabel WCU.
Perguruan Tinggi Berkelas Internasional (WCU) sebenarnya bukanlah hal yang baru, melainkan sebutan tersebut atau sejenisnya sudah mulai didengungkan pada tahun 2000-an pasca diputuskannya sektor pendidikan masuk ke dalam bidang komersial oleh Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization).
Neoliberalisme sektor pendidikan
Penjajahan gaya baru sangat tampak dibalik World Class University. Memunculkan mindset (pola pikir) kompleks akan kebutuhan negara untuk tergabung dalam beragam kebijakan yang menuntut kerjasama sekaligus persaingan antar negara dalam berbagai bidang secara langsung seperti WTO (World Trade Organization), MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), bahkan KBE (Knowledge Based Economy),dll.
Standar kemajuan suatu negara juga harus disesuaikan oleh standar global, salah satu indikatornya adalah daya saing. Dalam bidang pendidikan, Globalisasi memunculkan mindset negara berkembang merasa harus menyetarakan kualitas negaranya sejajar atau minimal mendekati negara maju dilihat dari human development index (HDI), program for international student assessment (PISA), dan lainnya. Mindset (pola pikir) yang juga dilahirkan oleh WCU memacu persaingan Perguruan Tinggi untuk berlomba memimpin kampusnya agar masuk dalam pemeringkatan Universitas bertaraf internasional tersebut.
Mindset ini juga sering diperkuat oleh pemerintah salah satunya pernyataan Menristekdikti Mohamad Nasir saat memberikan orasi ilmiah pada peringatan Ulang Tahun Prodi MM FEB UGM ke-30 (02 Juli 2018) bahwa Perguruan Tinggi merupakan tempat mencetak sumber daya manusia yang kreatif dan mampu berinovasi.
Tanpa inovasi dan kreativitas, sulit bagi SDM Indonesia bersaing di era global. Sekarang daya saing Indonesia pada posisi 36, oleh karena itu perguruan tinggi harus mampu berperan sebagai motor penggerak untuk meningkatkan daya saing bangsa.
Pada akhirnya kampus akan mengupgrade daya saing dengan tunduk pada standar yang ditetapkan oleh penjual label WCU seperti QS, THE, Webometric, SJTU, dll. Seolah-olah lembaga riset tersebut lebih berhak dan akurat dalam memahami kampus yang berkualitas daripada negara sendiri.
Padahal, lembaga riset tersebut hanya lembaga atau perusahaan yang statusnya setara dengan dewan riset atau lembaga riset dibawah kementrian sekalipun perusahaan riset tersebut adalah perusahaan multinasional. Mereka menentukan indikator sesuai dengan standar kebutuhan mereka, oleh karenanya indikator mereka berbeda satu sama lainnya yang bisa dilihat di website masing-masing.
THE (Times Higher Education) adalah bagian dari perusahaan majalah mingguan di Inggris milik dari grup Charterhouse Capital Partners. Sedangkan QS yang awal berdirinya sempat bekerjasama dengan THE, merupakan lembaga riset yang di-back up penuh oleh perusahaan profit seperti Thompson Reuters, Scopus, Elsevier dan Quacquarelly Symonds sendiri.
Webometric adalah pemeringkatan berdasarkan pada eksistensi sebuah kampus di dunia maya. Webometric merupakan sebuah inisiatif dari Cybermetrics Lab, sebuah kelompok penelitian dari Centro de Ciencias Humanas y Sociales (CCHS), bagian dari Dewan Riset Nasional di Spanyol. Sedangkan SJTU adalah pemeringkatan yang dibuat oleh salah satu Perguruan Tinggi di China yakni Shanghai Jiao Tong University (SJTU).
Agenda neoliberalisme sektor pendidikan sesungguhnya merupakan upaya memuluskan kepentingan ekonomi negara-negara maju. Pada tahun 2000 saja ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara kerajaan tersebut.
Australia dengan ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $1,2 milyar pada tahun 1993. Tidaklah heran jika negara tersebut yang amat gigih menuntut sektor jasa pendidikan masuk kedalam WTO. Dapat dipahami jika perdagangan jasa pendidikan digerakkan hanya untuk mengejar keuntungan ekonomi negara-negara maju.
Berapapun besarnya keuntungan yang diperoleh Negara maju di era WCU saat ini, satu hal yang bisa dipastikan bahwa tujuan pendidikan pada akhirnya beralih dari mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sekedar hitungan untung rugi dalam logika bisnis ala kapitalis.
Bagaimana mungkin Negara merelakan bahkan mendukung pendidikannya berkiblat pada barat demi label WCU yang disematkan oleh lembaga atau perusahaan riset bahkan kampus asing? Sangat mungkin, bahkan faktanya sudah terjadi saat ini. Ribuan kampus berambisi membangun pendidikannya sesuai pesanan dan standar barat hanya demi tersematnya status WCU.
Oleh karenanya, WCU dikatakan salah satu upaya penjajahan gaya baru sektor pendidikan karena salah satu dampaknya yakni meminimalkan peran Negara dalam merancang dan membangun Pendidikan Tinggi secara mandiri. Penjajah memaksa sektor pendidikan untuk turut masuk dalam kancah bisnis jasa yang diharapkan menghasilkan keuntungan besar.
WCU menjadi kiblat baru bagi PT di seluruh dunia termasuk di negeri-negeri muslim. Menjadikan kurikulum sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan sebagai kurikulum wajib yang juga akan melahirkan intelektual-intelektual muslim sekuler.
Pada akhirnya sikap mereka terhadap ide dan nilai-nilai barat adalah menerima dengan tangan terbuka atas nama toleran dan menjaga perdamaian. Para intelektual muslim dipaksa dengan ikhlas untuk menerima ide dan nilai-nilai hidup Barat seolah-olah hanya dengan cara barat negeri muslim bisa mengalami kemajuan.
Padahal, sebaliknya. Identitas keislaman semakin terkikis bahkan tidak sedikit yang menentang Islam. Seakan-akan Islam adalah sumber kemunduran dan keterbelakangan sehingga tidak layak digunakan dalam mengatur seluruh kehidupan cukuplah Islam digunakan saat ibadah saja jangan menjamah ranah lainnya termasuk pendidikan apalagi politik.
Intelektual muslim seharusnya bercermin pada sejarah agung yang dimilikinya bahwa kemajuan sains dan teknologi dunia dipelopori oleh negeri-negeri muslim di era kejayaan Islam. Mereka berprinsip dan memegang teguh agamanya dengan menjadikan islam sebagai pengatur seluruh kehidupan. Dimana pada saat itu barat hidup dalam kegelapan dan keterbelakangan yang berkepanjangan. Maka itu, sebenarnya WCU hanyalah neoliberalisme yang menghancurkan, sengaja dirancang oleh Barat terhadap sistem pendidikan di dunia Islam.*
Putri Irfani S, S.Pd
Muslimah Dakwah Community