View Full Version
Rabu, 31 Jul 2019

Film dalam Perspektif Islam versus Kapitalisme

Sahabat VOA-Islam...

Usai polemik pemboikotan film 'Kucumbu Tubuh Indahku' oleh beberapa pemerintah kota, kini giliran 'Dua Garis Biru' yang menjadi sasaran petisi penolakan. Petisi tersebut digagas oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di Change.org.

Mereka menilai ada beberapa scene di trailer yang menunjukkan situasi pacaran remaja yang melampaui batas. Terlebih ketika menunjukkan adegan di dalam kamar yang menjadi rutinitas mereka.

Meski tak melihat ada adegan yang melanggar undang-undang, Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia menyebut ada pesan implisit yang ingin disampaikan lewat 'Dua Garis Biru'. Pesan tersebut dikhawatirkan dapat merusak generasi muda Indonesia. (Antara news 11/7)

Sayangnya, para petinggi justru memberikan apresiasi positif atas peluncuran film tersebut. Dalihnya, sebagai edukasi kesehatan reproduksi remaja dan perencanaan kehidupan dan nilai nilainya. Dan seolah mengabaikan petisi penolakan, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Dwi Listyawardani justru akan membawa film Dua Garis Biru ke BKKBN sebagai sosialisasi program agar bisa ditonton oleh remaja di seluruh provinsi. Hal ini karena film merupakan media penyajian terbaik jika dibandingkan dengan metode ceramah.

Sungguh, tak ada kata selain aneh jika 'ceramah keagamaan' dianggap tak lagi relevan dalam mendidik dan memperbaiki kualitas generasi. Karena fakta di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya.

Dimana ketiadaan eksistensi agama dalam kehidupan remaja adalah faktor penghancur generasi nomor satu. Jika peranan ceramah (red: agama) ini perlahan disingkirkan dan berkeras hati menggantikannya dengan film/tontonan, maka jelaslah bahwa gaya hidup sekulerisme lah yang sebenarnya hendak ditanamkan ke pikiran remaja.

Mendudukkan peranan film dalam Islam, sesungguhnya ia sama sekali tidak dinafikkan mengingat kemajuan teknologi di era digital memustahilkan manusia tidak bersinggungan dengannya. Oleh karena itu, film -sebagai produk teknologi- dipandang memiliki potensi besar dalam memberikan edukasi bagi rakyat sekaligus sebagai strategi baru dalam pelaksanaan suatu kegiatan dakwah.

Terlebih jika yang disasar adalah generasi muda. Maka bisa dipastikan proses penyerapan informasi melalui film akan lebih efektif disamping juga dakwah bil lisan.

Sayang sudut pandang yang notabene bermuatan positif ini tidak sama sekali berlaku bagi para kapital pengagung kebebasan (liberal). Film hanya dipandang sebagai produk bernilai bisnis yang bisa menjanjikan keuntungan. Asalkan "menjual", persetan saja lah soal judul, trailer atau bahkan konten.

Tak hanya itu, ketidakberdayaan pemangku kekuasaan dalam mengendalikan arus liberalisasi semakin memperparah laju penghancuran generasi melalui film. Karena faktanya regulasi regulasi yang dihadirkan tidak pernah berhasil mengatasi problematika yang ada.

Mereka seringkali gembar gembor mengatakan sex education namun lupa bahkan nihil upaya dalam mencegah sebab sebab terjadinya sex pra nikah. Sehingga jangan heran jika hasilnya sama dengan ZONK.

Penanganan berbeda akan dijumpai dalam Islam. Tak sekedar sex education, Islam juga mengatur tata pergaulan antara laki laki dan perempuan. Dengan kekuasaan, negara akan mengontrol media swasta dan internet untuk meniadakan tayangan tayangan yang mengumbar aurat, mengandung konten pornografi, pornoaksi dan kekerasan.

Inilah sebabnya mengapa Islam dan politik (red : negara) tidak boleh dipisahkan. Karena Islam lah satu satunya ideologi yang sempurna dalam mengatur kehidupan dan memecahkan problematika manusia. Sementara negara adalah satu satunya instusi yang bisa menjamin terlaksananya hukum hukum Islam secara menyeluruh.

Kiriman dari Maya. A


latestnews

View Full Version