Alhamdulillah, segala puji milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah dan keluarganya.
Keluarga besar Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo berduka. Kiai Pondok yang penuh kharisma wafat, Ahad (4/8/19) pukul 15.35 WIB.
Ustadz kelahiran Ciamis 67 tahun lalu menghembuskan nafas terakhir di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Jenazah dishalatkan di Masjid Baitus Salam di komplek Pesantren Al-Mukmin selepas Isya'. Malam itu juga di bawa ke Ciamis untuk di makamkan di sana sesuai wasiatnya.
Beliau habiskan usianya mengurus pesantren Ngruki. Sampai akhir hayatnya, beliau menjabat ketua Yayasan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Cemani, Sukoharjo.
"jenazah beiau sangat ringan saat diangkat. Seperti kapas," pengakuan santri beliau yang ikut mengangkat jenazahnya ke liang lahat.
Kepergian beliau menyisakan banyak kenangan indah dan penuh hikmah. Salah satunya dituturkan salah seorang santri beliau (Hawin Murtadlo Bukhori) yang menjadi direktur di salah satu pesantren di Jawa Timur. Berikut ini sepenggal kenangan.
___________
Mungkin saya salah satu murid yang terlambat mengenal guru. Baru beberapa tahun terakhir saya mendengar sebagian gagasan dan pengalaman ustadz K.H. Wahyudin. Dan kini beliau telah tiada.
Saat menginjakkan kaki pertama kali di Pondok Ngruki, saya mengira beliau Kiai Pondok Ngruki. Dalam benak saya, di setiap pondok pastilah ada kiainya. Dan Ust. Wahyudin yang rutin menjadi imam rawatib di masjid pondok tampaknya yang paling pantas diduga sebagai kiainya. Apalagi, wajahnya cukup berwibawa dengan jenggot dan cambang lebat.
"Kiai Pondok Ngruki ternyata seperti Oma Irama," kataku sambil tersenyum dalam hati. Maksud saya adalah Rhoma Irama sang Raja Dangdut yang terkenal itu. Dalam pikiran saya yang lugu ketika itu, setiap orang yang brewokan itu mirip Oma.
Suara tilawahnya di shalat-shalat jahriyah terdengar besar, menggelegar, ngebas, tapi empuk dan merdu memberikan kesan mendalam pada para santri, termasuk saya. Suatu hari, saya terhanyut oleh alunan suara beliau membaca salah satu surah Al-Qur'an. Seingat saya, beliau saat itu membaca surat Al-Qiyamah di juz 29.
Lagi-lagi, di zaman itu, imam shalat membaca juz 29 itu "sesuatu banget" bagi saya. Apalagi dengan alunan mendayu-dayu seperti suara beliau. Dulu, belum banyak pondok tahfizh seperti sekarang. Apalagi SD, SMP, atau SMA tahfizh. Pernahkah kami mendengar bacaan Syaikh Al-Matrud, Sudais, atau Syuraim? Apalagi Syaikh Musyari, Hani' Rifai, dan Bandar Balila?
Jangan tanyakan itu. Di kampung saya, imam rawatib membaca surah Adh-Dhuha di shalat Subuh itu sudah lama banget. Itu pun tak jarang membaca huruf ha' dengan kaf. Huruf 'ain dengan ngain. Mereka membaca "rabbil ngalamin" bukan "rabbil 'alamin".
Lebih enam tahun nyantri, plus setahun wiyata bakti di pondok, saya tidak mengenal Ustadz Wahyudin selain sebagai Imam Rawatib, Direktur Pondok, dan Guru Bahasa Arab yang mengajar balaghah dan alfiyah, kadang-kadang dengan mata merem tanpa melihat kitab. Apa saja ide-ide, pandangan-pandangan, dan sikap-sikap beliau terhadap berbagai hal tidak pernah saya dengar. Mungkin karena penampilan beliau yang low profile dan sedikit bicara. Atau sebagai murid saya kurang proaktif menggali ilmu dan pemikiran dari para guru, termasuk Ust. Wahyudin.
Masih ingat, saat saya melihat beliau, di usia tidak muda menaiki sepeda motor sambil mengangkat kayu. Masyaallah!
Masih ingat saya, saat beliau bercerita, bagaimana beliau berpindah-pindah rumah setiap istri beliau melahirkan.
"Kamu itu kayak kucing!" beliau menirukan komentar kerabatnya. "Setiap punya anak selalu pindah rumah," katanya sambil tersenyum tipis.
Di antara sedikit yang saya ingat, beliau pernah berkomentar tentang saya, "Hawin ini belum cocok jadi direktur pondok," begitu kata beliau di sebuah perjalanan dengan mobil pondok. Kebetulan, saat itu saya dipaksa jadi mudir MADW. "Seorang direktur perlu punya pengalaman menjadi kepala bagian di bawahnya." Menurut beliau, sebelum menjabat direktur pondok, seseorang harus merasakan jadi kepala kesantrian, kepala sekolah, ketua bidang kurikulum, bahkan ketua bidang logistik dan dapur. Supaya dia memahami seluk-beluk pekerjaan anak buahnya.
Saya jadi ingat, bagaimana para ustadz di pondok Ngruki sering gonta-ganti jabatan. Mungkin itu menjadi cara beliau untuk menyiapkan kader. Terlebih, memang tidak ada sekolah khusus untuk calon direktur pondok. Sebagian besar pimpinan pondok alumni setahu saya memang belajar memimpin pondok langsung dari pengalaman. Tidak ada sekolah untuk menjadi direktur pondok. Adanya Kulliyatul Muallimin, sekolah untuk calon guru pondok.
Hal lain yang saya pelajari beberapa tahun terakhir adalah bagaimana seorang dai berpikir dengan orientasi keumatan, bukan kelompok minded. Bagaimana bergaul dengan banyak kalangan, bukan membatasi diri kepada teman satu kelompok. Juga bagaimana tetap bersikap santun, meski berhadapan dengan orang yang memusuhi kita.
"Saya tidak ingin memperuncing masalah dengan menyerang orang lain. Waktu pada akhirnya yang akan menjelaskan keadaan sesungguhnya," kata beliau suatu kali.
Duh, setiap kali mendengar cerita beliau, saya merasa terlambat mengenalnya. Dan kini beliau sudah menghadap Rabbnya. Tentunya Ustadz Wahyudin bukan seorang sempurna. Seperti umumnya manusia, juga guru kita, beliau tak luput dari kekurangan dan kesalahan. Sebagai murid, kita perlu bersikap, "Mikul dhuwur mendhem jero!"
Semoga Allah menerima amal shalihnya, mengampunkan dosanya, serta menjadikan murid-muridnya sebagai pelanjut cita-cita dan perjuangannya.
Rahimahullah rahmatan waasi'ah. Wa askanahu fasiiha jannatihi. Innahu waliyyu dzalika wal qaadiru 'alaihi. Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya yang luasbkepada beliau. Juga menempatkan beliau di surga-Nya yang luas. Hanya Dia yang berwenang dan berkuasa akan hal itu.
Hawin Murtadlo Bukhori