View Full Version
Kamis, 08 Aug 2019

Nelangsa Listrik

AHAD kemarin 4 Agustus 2019, hampir separuh wilayah Jawa lumpuh menjadi kota mati. Masyarakat mati gaya di siang hari, gelap gulita di malam hari. Bukan main, kurang lebih 15 jam lamanya listrik mati total. Para pesohor ramai ‘mengungsi’ ke hotel demi merasakan dinginnya AC dan terangnya lampu. Bahkan tak sedikit sosialita yang sampai harus mengungsikan dirinya ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Bagaimana dengan masyarakat kecil? Tentu mereka harus ikhlas menerima pil pahit. Transportasi massal dibekukan, komunikasi terputus, sulit air, kebakaran di sejumlah titik dan banyak cerita lain yang tersisa di balik padamnya listrik secara massal.

PLN sudah berjuang keras memulihkan suplai listrik secara bertahap di berbagai area yang sempat mengalami black out. Kini pihak PLN harus berbenah, mulai dari problem manajemen kebijakan yang semerawut, problem teknis, korupsi, hingga BUMN yang dijadikan mainan parpol untuk bagi-bagi kekuasaan.

Tapi sayangnya, para pemangku kebijakan justru memandang lain. Mereka melihat monopoli PLN adalah masalahnya, hingga solusinya adalah dengan liberalisasi. Setidaknya ini terlihat dari pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara yang menilai bahwa PLN perlu memiliki pesaing yang turut berperan menyediakan pasokan listrik kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji restu bagi perusahaan lain yang bisa menjadi distributor listrik di Tanah Air. Wacana tersebut kini tinggal mendapat restu dari Kementerian ESDM.

Peradaban manusia saat ini sangat bergantung kepada pasokan listrik. Bagaimana tidak, segala kecanggihan teknologi revolusi industri 4.0 tak akan berguna jika listrik dilumpuhkan, kebutuhan akan pasokan listrik bersifat mutlak. Perannya yang sangat vital karena  listrik memegang urat nadi kehidupan di dunia ini. Karena itulah listrik pun tak lepas dari endusan kaum tamak para kapitalis. Gebyar keuntungan di sektor pembangkit membuat investasi di bidang ini tak akan pernah rugi. Listrik saat ini berorientasi pada keuntungan bukan pada pelayanan kepada rakyat.

Padahal, segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak tak boleh dikuasi secara pribadi. Begitu prinsip Islam mengaturnya sejak 1400 tahun lalu. Komoditas yang vital bagi publik termasuk kepemilikan umum yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk dikuasai secara individu. Tegas sekali Rasulullah menyabdakan “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, padang rumput, dan api (bahan bakar/energi)" (HR Ibnu Majah).

Jika berharap solusi yang diarahkan pemerintah saat ini, justru akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Keberadaan listrik di tiap rumah penduduk bukannya mendatangkan rasa bahagia, tapi justru bikin nelangsa. TDL terus menaik, sedangkan rakyat kecil makin tak bisa menjangkaunya karena harus membeli listrik dengan harga yang tak murah lagi.

Hanya Islam solusi yang mampu menyejahterakan urusan rakyat, termasuk menyelesaikan dilema kelistrikan di negara kita. Masalahnya, kapan elit politik negeri ini mau mengambil Islam sebagai solusi dalam bernegara?

Nurina Purnama Sari,S.ST

Ketua Taman Alqur'an The Agathis

 

 


latestnews

View Full Version