View Full Version
Jum'at, 09 Aug 2019

Antara Dua Garis Biru dan Dua Bendera Tauhid

DUA Garis Biru, film karya Gina S. Noer yang dirilis pada 11 Juli lalu ini sempat menjadi perbincangan hangat. Film ini menceritakan dua orang remaja yang menjalin hubungan hingga hamil di luar nikah. Dilansir dari tirto.id dalam waktu 15 hari penayangan saja film ini telah ditonton sebanyak 2 juta orang. Lebih miris lagi seperti yang diberitakan oleh tribunnews.com, film ini justru mendapat apresiasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) hingga menyelenggarakan nonton bersama tepat pada hari pertama penayangannya.

Film ini dirasa mampu memberikan sex education kepada masyarakat khususnya remaja dengan cara yang menarik seiring dengan maraknya pernikahan dini dan segala resikonya. Namun apakah ini cara yang tepat untuk memberi sex education? Dengan memberikan gambaran semacam itu, setiap adegan dalam film justru akan terus membayangi dan memantik rasa penasaran mereka.

Sebaik apapun pesan yang ingin disampaikan maka tidak akan mampu menyingkirkan dominasi bayangan film yang telah disaksikan. Belum lagi dengan melihat kondisi hari ini, seiring semakin bebasnya pergaulan maka akan berpeluang besar apa yang telah mereka saksikan akan ditiru, bukan malah sebaliknya, karena bayangan resiko yang akan menimpa mereka berada lebih jauh daripada fakta yang ada di depan mata.

Di sisi lain, nampak upaya pengerdilan simbol-simbol keagamaan seperti pengibaran dua bendera tauhid. Hal yang demikian telah terjadi sebagaimana yang dialami oleh siswa-siswi MAN 1 Sukabumi. Respon Menteri Agama Lukman Hakim justru sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, bukannya mengapresiasi pengibaran dua bendera kebanggapan umat Islam ini tetapi justru mengatakan akan melakukan investigasi. Dilansir dari Tempo.co melalui akun twitternya ia mengatakan bahwa sudah dikirimkan tim khusus dari pusat untuk melakukan investigasi di lapangan dan akan dilakukan upaya serius untuk menangani kasus tersebut.

Belakangan diketahui bahwa pengibaran dua bendera tauhid tersebut dilakukan untuk menarik minat siswa baru terhadap salah satu ekstrakurikuler sekolah. Terlepas apapun latar belakangnya adalah tidak benar jika pengibaran dua bendera bertuliskan kalimat mulia ini dipersalahkan dan dipersekusi, apalagi oleh seorang menteri agama, sebab tuduhan bahwa kedua bendera ini merupakan milik dari ormas tertentu, pemecah-belah bangsa, dan bibit radikalisme merupakan alasan yang tidak berdasar serta merupakan fitnah yang dihembuskan untuk menutupi ketakutan rezim.

Jika kita lihat dua peristiwa ini secara bersamaan dengan pandangan yang lebih luas maka akan tampak ketidaksesuaian penempatan antara yang benar dan salah. Beginilah jadinya jika sekulerisme yang menjadi tolak ukur suatu perbuatan. Agama dijauhkan dari pengaturan segala aspek kehidupan dan standar penilaian terhadap segala sesuatu. Ada upaya sistematis untuk membuat kemaksiayatan seolah merupakan hal yang biasa bahkan dianggap benar oleh masyarakat sedangkan atribut keagamaan seperti dua bendera tauhid kebanggaan umat Islam diaggap radikal dan pemecah-belah bangsa.

Mirisnya segala upaya ini nampak digencarkan kepada generasi muda. Di satu sisi, ketika contoh itu mengarah pada yang salah, justru mendapatkan apresiasi dan dukungan untuk terus berkarya, meneruskan jejaknya. Sebaliknya, ketika mengarah kepada Islam dan kebangkitan umat akan dipersekusi luar biasa. Jelas ini adalah langkah sistemik untuk merusak generasi mendatang. Jika generasi muda yang akan menentukan arah bangsa ini telah rusak dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah maka akan semakin mudah untuk mengendalikan atau bahkan menghancurkan suatu negeri.

Inilah hasil dari sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan justru akan menyeret manusia keluar dari fitrahnya dan membawa kehancuran. Maka solusi satu-satunya ialah dengan kembali kepada Islam dan menegakkan syariat-Nya dalam seluruh aspek kehidupan serta membawa umat pada kejayaannya.*

Muntik A. Hidayah

Aktivis Dakwah Kampus


latestnews

View Full Version