View Full Version
Sabtu, 10 Aug 2019

Ibadah Haji dan Keniscayaan Persatuan Umat

 

Oleh: Arin RM, S.Si

            Dzulhijjah telah menghampiri penduduk bumi. Jutaan hamba Allah terpilih telah dipanggil untuk memulai ibadah haji. Ibadah prestisius yang hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang terpilih dan diizinkanNya. Ya, haji bisa ditunaikan oleh mereka yang kuat tekad, yang mau berkorban dan berusaha untuk berhaji. Sehingga tepatlah jika sampainya mereka di baitullah disambut sebagai tamuNya.

Diiringi pengorbanan, dijadikan tamuNya, yang lebih penting, haji adalah wujud bersatu padunya seluruh muslim dunia dalam meng-esa-kan Allah. Selama haji, jamaah senantiasa mengumandangkan talbiyah yang berisi seruan tauhid pengakuan bahwa seluruh kekuasaan hanya milik-Nya semata. Tidak ada pemilik yang hakiki selain Allah SWT (Ibnu Qayyim, Mukhtashar Tahzib Sunan, 2/335-339).  Permohonan segala kebaikan dunia dan akhirat, pengampunan atas segala dosa adalah hal yang dipanjatkan saat berhaji. Saat dimana Allah mengabulkan setiap permintaan dan mengampuni setiap kesalahan hambaNya.

Lebih dari itu, dari haji dapat diambil pelajaran bahwa sebenarnya muslim itu dapat disatukan. Selama haji kaum muslim telah terlatih untuk mengendalikan amarah dan permusuhan; sebaliknya mengembangkan sikap ramah serta tolong-menolong kepada sesama sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah  ayat 197. Namun nikmat persatuan itu seringnya hilang usai ibadah haji. Setelah haji usai, jamak kaum muslim kembali terkotak-kotak memandang sesamanya.

Padahal ibadah haji dalam sejarah kehidupan umat Islam sejak masa Rasul SAW dan masa berikutnya sangat sarat dengan makna dan memiliki pengaruh besar dalam jalannya kehidupan umat dan perjuangan mereka. Pengaruh ibadah haji itu bagi kehidupan dan perjuangan itu masih bisa dirasakan di negeri ini hingga pada masa penjajahan Belanda. Dengan ibadah haji, kaum muslim dahulu mendapatkan pencerahan politik dan terbangkitkan spirit perjuangan mereka. Pengaruh ideologis dan politis inilah yang menyebabkan Belanda khawatir. Karena itu, tahun 1908 Belanda pernah menegaskan bahwa melarang umat Islam berhaji akan lebih baik daripada terpaksa harus menembak mati mereka. (H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm.22).

Sesungguhnya Ibadah haji mengajarkan bahwa umat Islam sebenarnya adalah umat yang satu. Betapa tidak, jamaah haji berkumpulnya dari seluruh dunia untuk melakukan ibadah yang sama, tanpa mempedulikan lagi batasan negara bangsa, perbedaan suku, warna kulit, bahasa, bangsa, dsb. Hanya satu yang mengikat dan mempersatukan mereka yaitu akidah Islam. Fenomena itu sekaligus mengindikasikan bahwa umat Islam sesungguhnya bisa bersatu. Semua itu bisa dilihat dan dirasakan langsung oleh mereka yang menunaikan haji maupun oleh mereka yang tidak sedang berhaji. Persatuan itu mestinya tidak hanya saat menunaikan ibadah haji saja.

Persatuan umat Islam merupakan kewajiban mutlak kapan pun dan dalam segenap aspek kehidupan seperti ekonomi maupun politik. Untuk itu mutlak dibutuhkan pula ada satu negara yang menaungi umat Islam di seluruh dunia. Dari sini seharusnya tumbuh kesadaran dan tekad untuk mewujudkan persatuan umat Islam yang hakiki di bawah satu kepemimpinan seorang imam sebagaimana yang diamanatkan oleh Rasul SAW.

Inilah makna sangat penting yang saat ini mendesak untuk kita wujudkan. Yaitu keniscayaan persatuan umat menjadi ummatan wahidan. Satu kepemimpinan, satu aturan kehidupan dengan berpegang kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Hanya dengan itulah kunci kebangkitan umat Islam dapat diraih. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version