View Full Version
Jum'at, 16 Aug 2019

Haji dan Upaya Mengamalkan Kesabaran Tingkat Tinggi

JUTAAN orang telah mengikuti rangkaian ibadah ibadah haji pada tahun ini. Yang tercatat di Kementrian Haji Arab Saudi sekitar 4 juta orang. 

Jamaah yang tidak tercatat, kemungkinan jumlahnya sangat banyak, bahkan mungkin jutaan. Baik dalam negeri maupun luar negeri. KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) jeddah melaporkan, sebelum masa Arafah kemarin ada 130 WNI yang ditangkap oleh otoritas Arab Saudi karena masuk Mekkah tanpa visa haji. 

Banyaknya orang berkumpul dari seluruh dunia, bukan hanya melakukan ritual ibadah di waktu dan tempat yang sama, tetapi juga mengenal budaya dan karakter orang-orang dari belahan dunia yang lain. 

Sentuhan dengan budaya dan karakter yang berbeda ini kadang menimbulkan gesekan dan salah paham antara satu dengan yang lainnya. Ada yang sekedar kesel, terlibat cekcok, hingga hampir adu jotos. 

Di depan sebuah hotel, saya dapati ada bus berhenti agak lama. Pintu depannya terbuka. Saya dapati supir sedang berbincang dengan satu penumpang bus shalawat. Suaranya kencang. Saya naik ke atas, ingin tahu apa yang sedang terjadi. 

"Kurang ajar ini mas. Masa dia bicara dengan saya dengan suara kencang?," kata seorang jamaah haji, sambil menunjuk kepada Supir bus shalawat berkewarganegaraan Sudan. 

Saya juga, lanjutnya, diturunkan disini, padahal tujuannya mau ke Haram. "Gua tonjok lu. Anjin*," kata orang tadi dengan penuh emosi. 

Saya coba untuk menenangkan agar emosi bapak tadi mereda. Minta kepadanya untuk turun dari bus. Alhamdulillah mau dan semuanya berjalan kondusif kembali. 

Rupanya, penyebab cekcok yang hampir terjadi pemukulan itu, adalah komunikasi yang kurang dipahami kedua belah pihak. Jamaah bicara dengan bahasa Indonesia, sedangkan supir bicara dengan bahasa Arab. Keduanya pun memiliki karakter yang berbeda. Orang Indonesia biasa pelan saat bicara, sedangkan orang Arab, selalu kencang kalau bicara. Dikira suara yang tinggi itu pertanda sebuah peremehan, padahal memang kesehariannya begitu.

Kejadian lainnya, saat sekeluarga jamaah haji Indonesia naik taksi dari Haram menuju ke hotel usai melakukan thawaf Ifadhoh. Supir mengatakan, satu orang ongkosnya "sab'iin". Mereka berjumlah sepuluh orang. 

Yang ada di benak jamaah, sab'iin sama dengan sab'ah, yaitu artinya tujuh. Padahal sab'iin adalah tujuh puluh. 

Masalah terjadi saat sepuluh orang ini turun dari taksi. Jamaah memberi uang seratus riyal dan minta kembalian. Supir marah. Minta satu orang ongkosnya tujuh puluh riyal. Total semuanya tujuh ratus riyal. 

Saya yang ada di tempat kejadian, ingin tahu, berapa akad awal ongkos sebelum jamaah ini naik. Ternyata memang terjadi salah paham. Supir ingin mencekik harga perorang tujuh puluh riyal, yang dipahami jamaah tujuh riyal. Gila. Jarak tempuh 2,5 km aja ongkosnya kalau dirupiahkan sampai Rp 2,8 juta. 

Saat puncak haji, supir taksi kerap nakal dengan menaikkan tarif seenak udelnya. Taksi di Saudi tidak pakai argo. Penumpang sebelum naik, melakukan tawar menawar. Kalau masih ada seat kosong, di tengah jalan bisa angkut orang. Mirip angkot di kita. 

Supir taksi tersebut orang Mesir. Rata-rata mereka ini punya kelakuan rewel dan tingkah menyebalkan. Dia ngomel-ngomel tetap minta tujuh ratus riyal. Bilangnya macet selama empat jam. Mau nipu dia. 

Saya, teman petugas haji, dan seorang mukimin mencoba untuk menengahi. Akhirnya supir ini diberi ongkos tiga ratus riyal. Dia langsung pergi. Masalah clear and clean. 

Haji adalah ibadah yang bukan hanya butuh kekuatan fisik, tapi juga butuh kesabaran. Banyak hal-hal diluar nalar terjadi. Saat itulah ayat " la rofatsa wala fusuqo wala jidala fil haj" benar-benar harus dengan telaten untuk diamalkan.

Mekkah Al Mukarramah, 14 Dzulhijjah 1440 H.

Budi Marta Saudin

Petugas haji Indonesia bidang transportasi 2019


latestnews

View Full Version