Oleh: Roni Tabroni*
Wahai haji, mungkin masih ingat ketika tangisan orang-orang terkasih itu pecah saat melepas kepergian kita menuju tanah suci. Tangisan bangga bercampur cemas. Bangga karena anggota keluarganya dipanggil menjadi tamu Allah, cemas karena tahu proses ibadah haji begitu berat.
Kesempatan menjadi tamu sang Khalik untuk menapakkan kakinya di tanah paling suci di muka bumi tentu tidak dimiliki setiap orang. Menghampiri makam manusia paling mulia Rasulullah, menghampiri dan tawaf di tempat paling sakral menjadi kesempatan paling berharga.
Ibadah haji merupakan prosesi dramatis dalam perjalanan spiritual manusia. Memadukan ibadah ritual, perjalanan yang berat, tempat tinggal yang berpindah-pindah, hingga nuansa-nuansa mencekam.
Pertemuan jutaan manusia dengan beragam latar belakang dari berbagai penjuru dunia menjadi fenomena yang begitu unik sekaligus aneh. Beragam karakter manusia ada di sana. Mereka dipersatukan oleh keyakinan dan spiritualitas yang sama. Solidaritas dan semangat beribadah begitu tampak. Dalam kondisi berdesak-desakkan, di tengah cuaca ekstrim, tidak ada yang surut untuk mengejar tempat dan moment paling utama.
Haji merupakan peleburan diri manusia dengan sang Khalik. Merelakan diri untuk meninggalkan kenikmatan dunia, menanggalkan gengsi dan stratifikasi sosial. Semua menyatu dalam semangat mencari pahala dan nikmatnya ibadah, hingga kenyamanan hidup dinafikan. Berjalan berpuluh-puluh kilo meter jauhnya (jika ditotalkan), tinggal di tempat yang tidak nyaman, merasakan panasnya cuaca dan kencangnya angin yang kurang bersahabat. Para tamu Allah pantang mengeluh.
Mencari waktu dan tempat utama yang sesuai dengan sunnah, bukan hal mudah. Namun dengan tekad kuat, Allah selalu memberikan jalan. Tidak ada yang tidak mungkin, ketika hambanya berupaya untuk menjalankan sunnah-Nya, jalan itu dibukakan. Tidak jarang kehawatiran menghinggapi para jamaah, keraguan bukan tidak mungkin datang menggoda. Tetapi nawaitu untuk berada dalam sunnah-Nya mengalahkan segalanya.
Dari mulai program tarwiyah, memilih waktu dan tempat serta tata cara shalat yang khas menjadi pilihan penting. Termasuk bertahan di Muzdalifah hingga terbit fajar dan melempar jumroh di waktu-waktu yang dicontohkan. Pilihan-pilihan ini bukan kebetulan, tetapi ketetapan yang harus diikuti.
Kondisi Arofah yang sakral membuat suasana semakin khidmat. Kenikmatan ibadah bercampur rasa haru dan syukur. Tetesan air mata menjadi bukti pengakuan dosa dan lemahnya diri.
Menjadi manusia haji, artinya menjadi mahluk yang tidak berdaya kecuali dengan bantuan-Nya. Di Arofah tidak ada pejabat dan rakyat, tidak ada sodagar dan pegawai, tidak ada orang pintar dan bodoh, semuanya adalah mahluk Allah yang tidak berdaya. Dipersamakan dengan simbol kain ihrom yang teramat sederhana, sebagai bukti penyerahan sekaligus menyadari kelemahan diri manusia dihadapan-Nya.
Wahai haji, semua apa yang pernah dilewati merupakan anugerah yang tidak didapatkan oleh semua ummat Islam. Tanah suci yang pernah diinjak, dan tempat sakral yang kita pernah berada di dalamnya belum tentu akan kita tapaki kembali hingga sakaratul maut menjemput kita.
Kesempatan yang sekali ini, menjadi momentum paling istimewa selama hidup di dunia. Kehidupan yang amat sebentar ini, sebelum akhirnya semua kita akan mati. Sebelum menuju alam kubur yang pasti dirasakan oleh semua mahluk, kita berharap apa yang kita lewati ini menjadi wasilah penggugur dosa.
Di tengah lantunan do'a-do'a selama di tanah suci ini, semua orang memiliki misi tunggal yaitu dihapusnya semua dosa-dosa yang pernah diperbuatnya, seraya berharap setelah kepulangannya menjadi haji mabrur. Mabrur artinya melewati makbul, bukan hanya amal ibadahnya diterima, tetapi juga berefek pada kehidupan yang lebih baik.
Dengan menapaki seluruh sunnahnya, kita berharap di padang mahsyar kelak akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah. Dengan pengorbanan yang tidak sedikit kita tidak ada maksud lain kecuali ingin menjadi bagian dari ummat Nabi Muhammad karena telah menjalankan seluruh prosesi yang berat ini tanpa kompromi.
Di padang mahsyar, ketika setiap manusia akan disibukkan dengan dirinya sendiri, mereka akan mencari perlindungan. Hanya mereka yang istiqomah dalam tauhid dan menjalankan seluruh sunnahnya lah yang mendapatkan syafaatnya kelak.
Dengan imbalan jannah yang dijanjikan bagi haji mabrur, maka seluruh pengorbanan yang dikeluarkan baik berupa harta, tenaga, waktu, dan mental, menjadi tidak berati.
Semua perjalanan dan susana berhaji yang begitu berat akan menjadi saksi kelak bahwa kita pernah menjadi bagian itu semua. Bahwa semua yang kita korbankan, kenyamanan yang kita tanggalkan, berharap menjadi wasilah yang menakdirkan kita berada dalam jannah-Nya.
Suatu hari nanti, setibanya di tanah air, setiap orang akan mengenangnya sebagai sebuah ceritera yang menarik. Mina, Arafah, dan Muzdalifah, sebagai medan paling menantang bagi jamaah haji berubah menjadi kenangan paling indah dalam hidup. Di tanah air dipastikan akan merasakan kerinduan yang begitu dalam. Suka duka nya akan tertanam dalam memori dan menjadi pengantar tidur. Kisahnya akan diwariskan pada anak-cucu sebelum kita meninggalkan mereka.
Jika pun kesempatan itu hanya sekali dalam hidup kita, maka persaksian itu mudah-mudahan cukup untuk menjadikan kita berada dalam safaat Rasulullah dan berada dalam pangkuan sang Khalik. Sebuah perjumpaan yang didambakan seluruh ummat Islam.
Tetapi, kenangan prosesi haji dan kelezatan spiritual itu tidak cukup dinikmati sendiri. Setiap haji dituntut untuk menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ritual haji harus dapat ditransformasikan menjadi sebuah perilaku dalam kehidupan nyata, sehingga efek dari berhaji adalah peradaban baik sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
*) Penulis merupakan pembimbing jamaah haji perwakilan Muhammadiyah