Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Kegaduhan yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini terkesan seperti sengaja "digaduhkan" seiring adanya revisi UU KPK, yang pada gilirannya banyak dugaan ada konflik kepentingan.
Terlepas dari istilah "digaduhkan atau ada konflik kepentingan", layak kiranya kita kembali mengingat semangat dibentuknya KPK pada 2002. Semangatnya kala itu dua institusi kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak becus menangkap para kuruptor.
Ternyata dalam perkembangannya dua institusi yang dianggap tidak becus ini malah orang-orangnya ada yang masuk dalam jajaran KPK lebih paradok lagi terpilihnya ketua KPK versi DPR juga dari kalangan polri.
Kalau dari kalangan polri sudah terpilih jadi pimpinan KPK, apakah tidak seyogyanya KPK dibubarkan saja? Karena rupanya semula institusi yang dianggap tidak becus kini sudah dipercaya memegang pucuk pimpinan KPK. Logikanya, tinggal optimalkan saja kerja dua institusi tersebut dalam soal pemberantasan korupsi.
Ada pilihan yang kiranya layak ditempuh dalam meredam kegaduhan yang terjadi di KPK, di antaranya, pertama, bubarkan KPK dan optimalkan kerja kejaksaan dan kepolisian. Yang kedua, bubarkan institusi yang semula dianggap tidak becus.
Pilihan kedua ini sangat kecil kemungkinan untuk dipilih. Atau yang ketiga, tetap ada KPK tapi KPK yang benar-benar independen tidak ada unsur personil yang berasal dari dua institusi yang dianggap tidak becus.
Silakan pilih dari tiga pilihan di atas untuk segera bisa meredam kegaduhan di KPK. Janganlah berlama-lama kegaduhan di KPK berlangsung karena akan memberi ruang gerak yang leluasa bagi para koruptor.
Silakan bagi para penentu kebijakan negeri ini untuk mengambil langkah-langkah yang konkrit untuk menyelamatkan negeri ini dari para pencuri berdasi yang mencuri uang negara.