Oleh : Salsabila Maghfoor (Aktivis Mahasiswa, Pegiat Literasi Pena Langit)
Kesedihan berulang nampaknya mesti dialami oleh masyarakat di sekitaran Sumatera dan Kalimantan. Fenomena kebakaran hutan yang sempat viral di tahun 2015 rupanya kembali terjadi.
Banyak masyarakat yang menjadi korban, tidak hanya skala domestik saja namun dampaknya telah menyebar hingga negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura.
Di dalam negri, baru saja beberapa waktu kemarin tersiar kabar bayi usia 4 bulan di Sumatera Selatan meninggal akibat sesak nafas dikarenakan terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akur (ISPA) akibat fenomena kabut asap. Korban sempat dirawat sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia (detik.com).
Mencermati kondisi kabut asap yang semakin memburuk dan berbahaya tersebut, DPW Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia Kawasan Laut Hutan dan Industri (LPLHI-KLHI) Provinsi Riau angkat bicara. LPLHI-KLHI menilai, kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemprov Riau bisa jadi disebabkan oleh koordinasi yang kurang dengan para stakeholder terkait.
Ketua DPW LPLHI-KLHI Riau, Eno Ridarto menambahkan untuk kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya di Riau seharusnya bisa ditekan seminimal mungkin bila langkah pencegahan dan penindakan hukum bisa diterapkan dengan baik. Apabila langkah pencegahan bisa diterapkan dengan baik dan langkah penindakan hukum juga berjalan, menurut Eno akan sejalan dengan upaya menciptakan Riau Bebas Asap seperti yang diinginkan Gubernur Riau.
Tidak hanya di Riau saja, masyarakat kita semakin cerdas untuk kemudian mengkritisi ketegasan Pemerintah dalam hal ini. Tidak heran bila kemudian muncul anggapan terkait dengan keputusan Presiden Joko Widodo mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya terkait vonis kebakaran hutan dan lahan menuai konflik. Upaya hukum yang ditempuh Jokowi dinilai lari dari tanggung jawab untuk menaati hasil putusan tersebut.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati mengatakan, pemerintah telah gagal memahami putusan pengadilan pada tingkat pertama. Padahal masyarakat hanya meminta bantuan pengadilan agar pemerintah dapat tegas menyikapi permasalahan kebakaran hutan Tuntutan warga negara dianggap masih bertentangan dengan pemerintah.
Di satu sisi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sibuk memadamkan api, sementara Pemerintah masih saja sibuk memberikan kewenangan bagi para korporasi (jawapos.com).
Hal inilah yang kemudian secara berani ditanggapi oleh sejumlah warga provinsi Riau yang menggelar aksi dengan menggunakan masker di lokasi Car Free day, sebagaimana dilansir oleh kompas.com, mereka membentangkan spanduk dengan tulisan ‘Riau dibakar bukan terbakar’. Luas lahan yang terbakar akibat karhutla menurut catatan BNPB adalah seluas 49.266 hektar.
Masyarakat dibuat miris sebab masalah yang mestinya sudah dinyatakan sebagai bencana nasional ini nyatanya belum mendapat respon maupun tindakan yang tegas dari Pemerintah. Ketua Tim Kampanye Hutan di Greenpeace Indonesia, Arie Rompas meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi turun langsung dalam menangani peristiwa kebakaran hutan dan lahan.
Ia menilai langkah tersebut perlu dilakukan jika menginginkan karhutla segera diatasi. Presiden Jokowi sebelumnya telah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk bisa mengatasi Karhutla. Selain itu, Jokowi juga telah menghubungi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Kepala BNPB Doni Monardo, dan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati untuk berkoordinasi terkait penanganan Karhutla.
Pada awal Agustus 2019, Presiden Jokowi sempat melontarkan pernyataan bakal mencopot sejumlah pejabat tinggi Polri dan TNI jika gagal mengatasi Karhutla. Hal itu disampaikan Jokowi di Istana Negara saat mengelar Rapat Nasional Pengendalian Karhutla 2019 di Istana Negara, Jakarta. Kendati demikian, Arie menyatakan pernyataan Jokowi sebelumnya tersebut hanyalah lip service atau janji di mulut. Sebab, meski telah menyatakan bakal mencopot, faktanya tidak ada tindakan nyata dari Presiden Jokowi.
Fenomena ini menunjukkan kepada kita, bahwa ada evaluasi besar dalam perjalanan sistem Demokrasi hingga saat ini, dimana ternyata kesejahteraan raktyat belumlah menjadi parameter utama.
Sebab jika demikian, tentu persoalan karhutla semacam ini tidak akan dibiarkan berulang dan pasti akan dituntaskan sampai ke akarnya. Nyatanya tetap saja dibiarkan dan Pemerintah bahkan terkesan tidak ingin menghalangi atau bahkan mencegah kebakaran itu terulang kembali.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dibalik karhutla tersebut ada para korporat yang sedang mempertaruhkan lahan untuk kemudian digarap kembali. Tentu saja ada iming-iming lain sebagai pemulus proyek besar tersebut meski harus mengorbankan rakyat banyak.