Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Setelah pembubaran HTI Pemerintah terus mengangkat isu Khilafah. Menkopolhukam Wiranto intens menggaungkan "ancaman" sampai individu yang mengaitkan dengan hal Khilafah konon akan dibuat aturannya. Tentu bersanksi.
Sikap berlebihan Pemerintah ini sebenarnya melampau batas kewenangan dan proporsinya. HTI sendiri tidak menjadi organisasi terlarang. Khilafah disamping melekat dengan ajaran juga ada dalam kesejarahan umat Islam sejak zaman Khulafa'ur Rasyidin yakni masa Shahabat Rosulullah SAW.
Menghajar Khilafah dan menjeneralisasi dengan HTI adalah kesalahan fatal. Sentimen keagamaan umat Islam ditarik-tarik. Siapa pun termasuk umat Islam di Indonesia dapat saja untuk tidak setuju dengan organisasi HTI tapi tidak bisa menghapus Khilafah sebagai sejarah dari kejayaan peradaban Islam.
Qur'an pun menyebut manusia sebagai Khalifah di muka bumi. Kebencian dan ketakutan pada gerakan khilafah tidak boleh membuat hantu pada rakyat dan ujungnya menyinggung komponen keagamaan umat Islam. Wiranto berkali kali dinilai "off side".
Ide Khilafah nampak baru wacana dan tidak menjadi isu mainstream. Khilafah bersifat mondial tidak mungkin nasional. Harus ada pimpinan negara dalam skala dunia, dan itu tak ada. Akan tetapi ada gerakan yang jauh lebih berbahaya di Indonesia yakni gerakan Syi'ah dengan ideologi Imamah.
Syi'ah bukan sekte atau madzhab, ia adalah gerakan politik berbingkai agama. Intelektualitas dan spiritualitas hanya tahapan atau kamuflase untuk politik kekuasaan. Ideologi Imamah adalah misi perjuangan kaum Syi'ah. Negara Iran menjadi komando dan pimpinan gerakan Syi'ah di setiap Negara.
Dua bahaya utama Imamah. Pertama, ideologi kepemimpinan dimana pun harus berkonsep Imam keturunan Husein. Bila tak ada, maka Imam adalah "Wilayatul Faqih". Disinilah gerakan politik Syi'ah dimana pun harus berada di bawah komando Wilayatul Faqih yang keberadaanya di Negara Iran. Kedua, gerakan Syi'ah dalam visi perjuangannya harus berusaha menegakkan Imamah, artinya mengganti ideologi apapun untuk menjadi ideologi imamah.
Di Indonesia organisasi Syi'ah IJABI atau pun ABI jika jujur tidak mungkin bisa melepaskan diri dari perjuangan penegakkan ideologi Imamah ini. Hanya kepengecutan atau 'taqiyah' nyalah yang membuat Isu penggantian ideologi ini disembunyikan.
Imam Husein menjadi simbol penumpahan darah. Penyatuan kekuatan berada di bawah bendera "Ya Husein". Berjuang "menyakiti diri" untuk kuat menyakiti selain diri. Musuh disebut "nawashib" (pembangkang) atau Wahabi.
Syi'ah anti hal-hal Arab. Basisnya adalah Persia. Misi penegakkan ideologi Imamah dengan cara "Ekspor Revolusi". Mengekspor keberhasilan Revolusi Syi'ah Iran ke negara negara (Islam) lain. Indonesia pun menjadi target empuk.
Ideologi Imamah berbahaya. Bisa menggantikan Ideologi Pancasila. Dukungan Iran baik dana, sumberdaya manusia, maupun strategi sangat nyata. Di beberapa negara sudah dengan bantuan senjata dan pasukan. Semua Negara yang dibuka kran pengembangan Syi'ah mesti berkonflik dan hancur. Irak, Suriah, Yaman, Afghanistan, Lebanon dan lainnya.
Jika Indonesia membuka bebas pula pengembangan ajaran Syi'ah, sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik dan peperangan yang berujung pada kehancuran. Syi'ah adalah sumber bencana. Malaysia dan Brunei Darussalam cukup waspada hingga melarang Syi'ah.
MUI dan Lembaga Da'wah serta Ormas Islam kerap mengingatkan bahaya Syi'ah bagi akidah dan Negara. Akan tetapi Pemerintah kurang peduli dan terlalu menganggap enteng persoalan yang bisa membawa penyesalan berkepanjangan ini. Akhirnya warga berjuang sendiri-sendiri untuk menangkal dan melindungi anak cucunya ke depan.
Saatnya aparat termasuk institusi intelijen untu lebih mendalami bahaya Syi'ah bagi NKRI, mengingatkan warga, serta memperkuat daya tangkal. Iran adalah negara pengacau di negara-negara mayoritas Muslim. Pemerintah harus melindungi rakyatnya dari bahaya laten ideologi Syi'ah. Dengan bingkai palsu keagamaan Syi'ah lebih bahaya dari Komunis.