View Full Version
Rabu, 18 Sep 2019

‘Islam Ramah’ yang Tak Ramah

Oleh: Eriga Agustiningsasi, S.KM

The Santri. Siapa yang tidak kenal film ini? Meskipun belum ditayangkan secara resmi, namun trailernya begitu membanjiri media. Tak sedikit pasang mata menyaksikannya.

Dengan cepat trailer film garapan sutradara Hollywood asal Blitar, Livi Zheng ini tersebar di berbagai media termasuk sosial media yang digandrungi kaula muda. Mengapa? Apa yang menjadi daya tarik film ini?

Film The santri mengangkat nilai-nilai santri dan tradisi pembelajaran di pondok pesantren yang berbasis kemandirian, kesederhanaan, toleransi serta kecintaan terhadap tanah air. The Santri dipersembahkan sebagai wahana untuk menginformasikan dan mengkomunikaskan keberadaan dunia santri dan pesantren yang memiliki pemahaman Islam yang ramah, cinta tanah air serta anti terhadap radikalisme dan terorisme (CNNIndonesia.com 16/09).

Namun, film ini menuai reaksi dari ketua umum Front Santri Indonesia (FSI), Hanif Alathas. Beliau mengatakan bahwa film itu tidak mencerminkan akhlak dan tradisi santri yang sebenarnya (CNNIndonesia.com 16/09).

Rupanya hal itulah yang membuat trailer film rekomendasi Ketua Umum PBNU, Said Aqil Shiroj ini banyak ditonton di semua kalangan. Pasalnya, film ini dianggap jauh dari kehidupan pesantren pada umumnya. Bahkan bisa dikatakan jauh dari nilai-nilai Islam yang sebenarnya.

Selain interaksi santri dan santriwati yang ada di dalam film The Santri tidak mencerminkan layaknya santri yang dibina di pondok pesantren, film ini juga menuai kontroversi karena ide ‘Islam Ramah’ versi mereka. ‘Islam ramah’ digambarkan sebagai Islam yang menjunjung tinggi aspek toleransi antar umat beragama. Bahkan dalam film teradapat adegan santriwati membawa tumpeng nasi ke dalam gereja dengan mengatasnamakan bentuk cinta antar sesama. Benarkah Islam mengajarkan toleransi yang demikian?

Jauh sebelum ide ‘Islam ramah’ ini muncul, Islam telah jelas mengatur interaksi manusia, baik interaksi dengan Tuhannya, dirinya sendiri maupun dengan manusia yang lainnya. Islam telah jelas membedakan antara haq dan bathil, tidak ada pertengahannya, setengah haq dan setengah bathil. Mengapa?

Karena sesungguhnya perkara haq dan bathil selamanya tidak akan pernah menyatu. Begitupun perkara istilah. Sebut saja istilah kafir yang ada di dalam Al Qur’an surah Al Kaafirun. Tidak bisa diubah menjadi nonmuslim. Apalagi terkait dengan aqidah, perkara mendasar, pembeda antara iman dan kufur, halal dan haram. Termasuk konsep ‘Islam ramah’ yang digambarkan dalam film tersebut.

Islam mengajarkan toleransi antar umat beragama adalah hal yang benar. Namun perlu digaris bawahi, toleransi dalam bentuk seperti apa? Tata cara toleransi antar umat beragama telah jelas Allah sampaikan di dalam Al Qur’an Surah Al Kaafirun ayat 1-6. Allah berfirman,

“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Dari ayat tersebut jelas telah tercantum “untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. Sehingga dalam perkara aqidah, kita sebagai seorang muslim tidak boleh mengikuti beribadatan mereka, apalagi masuk ke dalam rumah peribadatan mereka dan ikut merayakannya. Hati-hati dengan perkara ini. Allah juga mengingatkan kita semua dalam firmanNya,

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS. al-Baqarah (2) : 120).

Perlu diingat kembali bahwa Islam datang sebagai agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya. Pembeda antara haq dan yang barthil. Dengan aturan Islam yang shohih (benar) dan sempurna inilah yang mampu menciptakan kehidupan yang harmonis antara umat beragama.

Terbukti antara Islam, Yahudi dan Nasrani dapat hidup berdampingan dalam Daulah Islam selama 14 abad lamanya. Waktu yang sangatlah lama. Tentu, tanpa ide ‘Islam Ramah’, Islam sudah menjadi agama yang sangat mengerti dan menghargai nonmuslim sebagai makhluk ciptaan Allah dengan mengatur kehidupan antar sesamanya.

Jadi toleransi antar umat beragama di dalam Islam ialah cukup tidak menganggu peribadatan mereka dan tidak turut serta merayakannya bahkan hanya sekedar mengucapkan selamat sekalipun.

Hal sebaliknya, ‘Islam Ramah’ yang diusung beberapa kalangan ini justru ‘tidak ramah’ dengan saudara seiman sendiri. Fitnah-fitnah digencarkan kepada sesama muslim. Bukannya sesama muslin harus saling menyayangi? Mengapa berbeda perlakukan dengan nonmuslim?

Sungguh ide ‘Islam Ramha’ ini sungguh menyesatkan. Lembut dengan pemeluk agama lain, namun keras dengan saudara seiiman, seakidah sendiri. Padahal Allah telah berfirman,

Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al Hujuraat: 10).

Jadi, jangan gadaikan keimanan hanya karena ide toleransi yang kebablasan. Ide ‘Islam Ramah’ tapi ‘tak Ramah’ bagi muslim. Bingung kan?


latestnews

View Full Version