MESKI kemunculan film The Santri baru sebatas trailer, namun potongan – potongan adegan yang ditampilkan cukup mengguncang kaum muslimin. Setidaknya tiga poin penting diperoleh di dalamnya. Pertama, film ini hendak menyampaikan pesan toleransi dalam bentuk pluralisme atau paham menyamaratakan agama. Ide pluralisme tampak dalam adegan dua orang remaja muslimah yang hadir dalam suatu perayaan di gereja.
Kedua, pergaulan antara santri dan santriwati yang melanggar syariat Islam. Sudah menjadi pemahaman bersama di negeri ini, bagaimana ketatnya penjagaan terhadap pergaulan dalam pesantren. Aktivitas di pesantren antara santri dan santriwati terpisah. Namun trailer film The Santri memperlihatkan keakraban antara santri dan santriwati. Ada adegan khalwat (berdua – duaaan) serta ikhtilat (campur baur) yang dilarang Allah swt.
Ketiga, image Amerika sebagai negara hebat ditonjolkan. Berangkat ke Amerika untuk bekerja menjadi hadiah bagi santri dan santriwati berprestasi dalam adegan film The Santri. Bisa bekerja di Amerika berarti sebuah kebanggaan bagi agama dan bangsa.
Sejumlah kalangan yang berlatar belakang santri angkat bicara soal film The Santri. Mereka kecewa dengan film tersebut yang menunjukkan wajah berbeda dengan kehidupan pesantren sesungguhnya. Diantaranya datang dari Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar), Uu Ruzhanul Ulum. Menurutnya film tersebut tidak sesuai dengan kehidupan nyata seorang santri. Beliau berharap film tersebut tidak ditayangkan. Tanggapan lain datang dari menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab, Hanif Alathas. Beliau menyatakan sikap penolakan, bahkan meminta para santri dan jamaahnya untuk tidak menonton film tersebut.
Seorang tokoh muslim sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon, Buya Yahya memberi pesan kepada pekerja seni bagaimana seharusnya membuat film. Salah satu sarana dakwah yang relevan dengan perkembangan zaman adalah film. Buya Yahya menyambut baik bila dakwah bisa disampaikan lewat media film. Syaratnya pembuatan film tersebut sejak awal hingga akhir harus didampingi oleh ahlinya. Jika ingin membuat film Islami maka seharusnya pembuatan film tersebut menggandeng tokoh Islam yang memiliki ilmu mendalam tentang syariat. Tema serta para pemain berikut adegan yang ditampilkan harus dipastikan sesuai syariat Islam.
Bila kenyataannya film The Santri disutradarai oleh non muslim yang tidak memahami tentang Islam, wajar hasilnya tidak Islami. Standar berbuat orang–orang di luar Islam tentu saja bukan ridha Allah swt melainkan manfaat. Berharap pesan Islam tersampaikan dari buah karya non muslim adalah harapan semu. Alhasil gambaran toleransi yang salah kaprah hingga pergaulan yang melanggar syariah dalam film The Santri akan merusak citra pesantren sebagai pabrik pencetak santri yang taat. Orang–orang yang terlibat dalam pembuatan film The Santri bertanggung jawab atas efek buruk film tersebut yang akan merasuki umat.
Kita harus menyadari bahwa kemunculan karya–karya yang mencitraburukkan Islam akibat diterapkannya sistem sekuler liberal. Kondisi saat ini menjadi kondusif bagi aktivis liberal untuk berkarya atas nama kebebasan. Sehingga kita tidak bisa benar–benar menghentikan karya mereka, melainkan sebatas memberi tekanan publik dengan menyatakan penolakan. Semoga film The Santri batal ditayangkan. Dan semoga kehidupan Islam segera kembali agar karya – karya yang muncul tak menyalahi aturan Islam. Aamiin.*
Eva Arlini, SE
Anggota Komunitas Revowriter