DI TENGAH musibah Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) yang menimpa sebagian wilayah Sumatra dan Kalimantan, Presiden Jokowi justru sibuk dan ceria ngevlog bersama cucunya, Jan Ethes di Istana Bogor (www.suara.com, Senin 23/9/2019). Sebagaimana yang dirilis oleh seorang jurnalis asing, Max Walden, Jokowi bersama cucunya melihat kuda, kambing dan rusa di pelataran Istana Bogor.
Ironis memang. Karhutla sudah memakan korban. Di antaranya lebih dari 27 ribu orang menderita ISPA di Palangkaraya dan Jambi. Bahkan ada yang meninggal dunia (www.detik.com, Rabu 18/09/2019). Di Riau sudah berkumpul di pos kesehatan, 75 orang terpapar kabut asap terdiri dari anak – anak, bayi,orang tua, ibu hamil dan menyusui serta lansia (www.kompas.com, 14/09/2019).
Pemimpin yang seharusnya lebih memperhatikan nasib rakyatnya, justru lagi asyik dan sibuk untuk bersenang – senang dalam kepetingannya.
Demikianlah di dalam sistem pemerintahan Demokrasi, rakyat hanya dibutuhkan ketika masa – masa mendekati pemilu. Pada saat kampanye, para calon pemimpin banyak mengumbar janji untuk mensejahterakan rakyatnya. Setelah itu, rakyat dibiarkan mengurus semua kepentingannya sendiri.
Lihat itu saat angka pengangguran masih relative tinggi, pemerintah membuka kran masuknya tenaga kerja asing dari China. Begitu pula di tengah ekonomi yang merosot dan utang yang menumpuk, pemerintah justru menaikkan premi BPJS dan sibuk dengan mainannya yakni pemindahan ibu kota. Betul – betul Pelayanan kepada masyarakat didasarkan pada asas ekonomi kapitalisme yakni dengan mengeluarkan biaya sekecil – kecilnya, guna bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya.
Bahkan sampai ada quotes yang penulis pikir cukup bisa menggambarkan sikap abainya pemimpin terhadap rakyatnya. “ Dulu, pemimpin tidak bisa tidur karena memikirkan nasib rakyatnya. Namun sekarang ini, rakyat yang tidak bisa tidur karena memikirkan tingkah laku pemimpinnya”.
Berbeda halnya dengan konsep kepemimpinan dalam Islam. Kepemimpinan itu merupakan pelayanan dan pengurusan urusan rakyat. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi mereka.
Disebut pelayan, karena seorang pemimpin itu layaknya seorang penggembala bagi gembalaannya. Kalau kita memperhatikan seorang penggembala kambing, tentunya ia akan menggiring kambingnya ke tempat yang penuh rumput setiap hari. Ia akan sabar menunggui kambing – kambingnya hingga kenyang makan rumput. Bahkan ia akan menjaga kambingnya agar tidak merusak tanaman budi daya milik orang lain. Kandang untuk kambing – kambingnya, selalu dijaga kebersihan dan kesehatannya. Ia menyadari bahwa kesehatan gembalaannya merupakan tanggung jawabnya.
Rasul SAW menyatakan:
والامام الذي راع وهو مسئول عن رعيته
“Seorang pemimpin itu adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan urusan rakyatnya”.
Jadi pemimpin itu benar – benar mengurusi kepentingan rakyatnya dengan asas pelayanan. Ia sadar bahwa setiap kedholiman yang dilakukannya terhadap rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Adalah Kholifah Umar bin Khatthab ra, hampir setiap malam beliau melakukan inspeksi terhadap keadaan rakyatnya. Beliau tidak mencukupkan diri hanya menerima laporan dari para pembantunya. Saat pembantunya menawarkan bantuan untuk mengangkat karung berisi bahan makanan bagi rakyatnya yang lapar, Umar ra mengeluarkan satu pernyataan bahwa apakah pembantunya sanggup memikul beban beliau nanti di hari kiamat. Sebuah pernyataan yang lahir dari kesadaran akan tanggung jawab seorang pemimpin.
Begitu pula teladan yang diberikan oleh Umar bin Abdul Aziz. Setiap kali beliau menerima tamu, maka akan ditanyakan kepentingannya. Jika kepentingannya adalah kepentingan pribadi, maka beliau memadamkan lampu di ruangannya karena lampu tersebut dibiayai dari kas negara.
Kholifah al Mutashim segera mengirimkan tentara dalam jumlah besar guna membela kehormatan seorang wanita muslimah yang dilecehkan di Amuriyyah. Sebagai balasannya, kota Amuriyyah ditaklukan.
Demikianlah perbandingan rasa tanggung jawab seorang pemimpin di dalam sistem Demokrasi dengan sistem Islam. Pemimpin di dalam Demokrasi bisa berlaku selayaknya kanibal. Homo homini lupus, yang artinya manusia bisa menjadi pemangsa bagi manusia lainnya. Adapun pemimpin di dalam Islam, adalah betul – betul orang yang memenuhi tanggung jawabnya dengan baik.
Walhasil, tentunya dengan nalar yang sehat dan jenih, kita akan menuntut adanya seorang pemimpin yang empati dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Karakter kepemimpinan yang demikian, hanya bisa dilahirkan dari sebuah tatanan kehidupan yang diterapkan Syariat Islam di dalamnya pada seluruh aspek kehidupan.*
Ainul Mizan
Guru tinggal di Malang, Jawa Timur