Oleh: Rofiqoh Arifah
Presentasi Bank Dunia ke pemerintah beberapa waktu yang lalu menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menurun.
Hal itu terjadi karena lemahnya produktifitas dan melambatnya pertumbuhan tenaga kerja di Indonesia. Terbukti dengan terpuruknya CAD (Current Account Deficit) yang berarti jumlah ekspor lebih rendah dari jumlah impor.
Menanggapi hal tersebut di gedung DPR Menkeu Sri Mulyani mengatakan "Kita akan perbaiki kebijakan ini untuk menyampaikan jika kondisi perekonomian Indonesia yang masih tumbuh diatas 5% inflasi terjaga, perbaikan di sektor pembangunan, kemiskinan, pertumbuhan kelas menengah, infrastruktur yang mulai terbangun dan jadi destinasi yang baik bagi investasi"(Jum'at, 6/9/2019).
Sementara itu dalam kesempatan yang berbeda Deputi Gubernur Bank Indonesia Destry Damayanti mengungkapkan saat ini investor masih akan betah menyimpan dana di Indonesia. Hal ini karena selisih imbal hasil obligasi SUN (Surat Utang Negara) dengan US Treasury dinilai masih sangat menarik. "Kalau saya melihat di Indonesia pasarnya masih oke, spread masih diatas 5,5% terus fiskal juga sangat prudent jadi masih confident lah".
Saat ini spread/ selisih antara SUN dengan US Treasury kian lebar menjadi 5,63% yang artinya SUN naik 2,13%. Jika kenaikannya terus bertambah maka kondisi perekonomian Indonesia akan makin terpuruk. Solusi yang ditawarkan Bank Dunia adalah reformasi besaran dengan membangun kredibilitas yakni dengan membangun bisnis yang terbuka, kepastian peraturan, dan kepatuhan dengan kebijakan presiden. Benarkah demikian?.
Seperti kita ketahui bahwa melemahnya produktifitas dan melambatnya pertumbuhan tenaga kerja di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal:
Sementara itu usulan dari bank dunia untuk meningkatkan kredibilitas dengan bisnis terbuka itu berarti memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada para investor agar menanamkan modalnya di negeri ini, bahkan melakukan apa saja termasuk membuat aturan yang memudahkan investor masuk seperti membebaskan pajak, menerima persyaratan-persyaratan apapun dari investor seperti bahan baku atau tenaga kerja yang harus dari mereka.
Dari fakta ini kita dapat melihat bahwa mengundang investor asing sesungguhnya tidak akan menjadi solusi dalam meningkatkan kondisi perekonomian negara ini. Bagaimana tidak, efeknya bukan menjadikan negara tersebut semakin mandiri dan berkembang tetapi justru semakin tergantung dengan investor-investor tersebut. Bahkan negara harus menanggung hutang yang semakin lama semakin bertambah. Karena selain membayar pokok hutang juga ada bunga yang harus dibayarkan.
Tahun ini saja jika dirata-rata setiap warga negara Indonesia harus menanggung hutang US$997 atau Rp 13 juta. Belum lagi berbagai syarat yang diminta justru menjadikan negeri ini semakin terpuruk dan mudah dikendalikan oleh para investor tersebut.
Semua ini terjadi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis neoliberal yang tegak diatas asas sekularisme dan pilar-pilar ekonomi yang rusak seperti membolehkan riba, kebebasan kepemilikan asal ada dana, dan lain-lain. Belum lagi ditopang oleh sistem politik demokrasi yang memberikan kesempatan kepada kapitalis berkuasa, sehingga mengendalikan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka.
Maka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya tanpa melihat ia kaya atau miskin Indonesia bahkan dunia membutuhkan sistem ekonomi dan politik yang tegak atas asas keimanan dan pilar yang hakiki. Dimana pelaku-pelaku ekonominya akan bekerja dengan penuh kejujuran, amanah serta berpihak pada rakyat. Serta orientasinya adalah untuk memberikan pelayanan sehingga terwujud kesejahteraan pada rakyat bukan profit oriented.
Memaksimalkan penerimaan pendapatan dari pengelolaan SDA dan peningkatan SDM secara mandiri, memberikan kemudahan bagi pengusaha dalam negeri untuk mengembangkan usahanya, menjadi pionir teknologi mutakhir, dan lain sebagainya. Itu adalah sistem ekonomi dan politik Islam.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis hanya dalam tempo kurun waktu kurang dari 3 tahun kondisi ekonomi yang tadinya terpuruk berubah menjadi gemilang sampai-sampai tidak ada satu orangpun dari warganegara yang mau menerima zakat. Karena mereka semua sudah dalam keadaan sejahtera terpenuhi semua kebutuhannya.
Lalu jika ada solusi yang memang sudah terbukti mampu membawa pada kesejahteraan di segala aspek termasuk ekonominya itu adalah Islam, kenapa tidak kita ambil?