MUSIM kemarau kembali menyapa Indonesia. Di tengah musim yang panas dan kering ini, api kembali mengganas di hutan-hutan bumi pertiwi. Hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan berubah merah. Tidak hanya membakar pohon-pohon dan hewan-hewan tidak bersalah yang menghuni hutan, asap akibat kebakaran hutan ini pun merusak lingkungan dan kesehatan rakyat yang tinggal di sekitar area hutan. Di Riau dan Jambi, aktivitas warga otomatis terganggu karena asap bahkan menghalangi jarak pandang. Terlebih, asap ini pun menyeberang hingga ke Singapura dan Malaysia, menyebabkan keresahan dua negara tetangga kita itu pula.
Di tengah situasi yang demikian, usaha memadamkan api oleh Satuan Tugas Kebakaran Hutan dan Lahan mengalami banyak kendala. Meskipun meeka telah bekerja keras berjibaku melawan api, sampai hari ini api tak kunjung berhasil dipadamkan. Yang lebih meresahkan sekaligus mengesalkan, karhutla (kebakaran hutan dan lahan) ini bukan hanya terjadi saat kemarau tahun ini saja. Tahun-tahun sebelumnya, karhutla terjadi setiap kemarau. Seperti de ja vu, rasanya baru kemarin saya menulis tentang usaha memadamkan karhutla oleh negara yang terkesan ‘menunggu keajaiban hujan’. Lebih ajaibnya, setelah hujan reda api kembali membakar hutan dan lahan kosong di Sumatera dan Kalimantan, menghanguskan seeluruh makhluk hidup malang di dalamnya dan meneror warga masyarakat dengan asap tebal menyesakkan. Berulang dan terus berulang. Seperti kisah banjir tahunan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan memiliki cerita karhutla tahunan. Tragis!
Mengapa kisah tragis karhutla terus ‘besenandung’ seetiap kemarau tiba di negeri ini? Polresta Barelang Batam berhasil menangkap tiga pelaku pembakaran hutan. Ketiganya diringkus saat hendak membuka lahan di Bukit Bismilah Galang. Menurut pengakuan mereka, ada pengusaha Batam yang memberi mereka uang untuk melakukan hal itu.
Mengapa sampai ada kejadian pengusaha memperkerjakan orang untuk membakar hutan? Ini merupakan kejadian turunan dari aturan negara untuk memberikan hak kelola hutan kepada individu, siapa yang bisa membayar dia mendapat hak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sesuai kepentingannya, biasanya untuk pembukaan kebun kelapa sawit atau bisnis properti. Intinya, negara jualan hutan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 dan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Inilah kapitalisasi hutan, orang kaya menjadi pemegang hak konsesi hutan yang luas. Dan itu legal. Otomatis, perusahaan swasta baik kelompok atau perorangan yang memiliki hak ini berhak untuk mengelola hutan dengan cara paling efektif dan murah namun untung besar untuk bisnis mereka. Bagaimana membuka hutan dan lahan yang memenuhi kriteria demikian? Dibakar saja. Ini bukan cara lama. Ini cara tradisional membuka hutan yang sudah banyak dilakukan sejak ada program transmigrasi ke luar pulau Jawa. Bedanya saat itu hutan yang dibakar sempit, cukup untuk membuka sawah atau kebun. Sedangkan saat ini wilayah kebakarannya sangat luas. Tentu karena pengusaha kapitalis kaya dengan penguasaan hutan luas yang perlu bakar-bakar, bukan petani sederhana.
Inilah salah atur negeri ini yang menjadi penyebab karhutla mustahil dihentikan, mustahil tidak terus berulang. Karena negaralah yang mengamini adanya kapitalisasi hutan, maka ulah mereka dalam mengolah hutan mereka sulit tersentuh hukum. Jelas, ini produk hukum sekuler dalam negara bersistem demokrasi kapitalisme yang tegak dengan pongah di negara mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Padahal jelas-jelas Rasulullah saw. mengharamkan kapitalisasi hutan semacam ini, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Hutan termasuk ke dalam klasifikasi padang rumput dalam hadis ini. Maka, hutan adalah milik rakyat secara umum. Pengelolaannya dilakukan oleh negara dengan mengembalikan hasilnya utuh untuk rakyat, baik dalam bentuk manfaat hutan langsung maupun pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, pembangunan infrastuktur maupun fasilitas umum lain yang dapat diakses oleh seluruh raakyat secara umum. Inilah aturan Islam dalam pengelolaan hutan yang berjalan sejak zaman Rasulullah saw, Khulafaur-Rasyidin maupun para khalifah setelah beliau, selama masa kekhilafahan Islam.
Tidak ada celah kapitalisasi hutan dalam Islam, justru hal ini terlarang dari awal. Dan karena pengelolaan hutan berada dalam tanggung jawab negara, penyelesaian kejadian kebakaran hutan semacam ini berada di pundak negara seluruhnya. Seorang Khalifah tidak akan dengan mudah berkelit dari bertanggung jawab atas keamanan dan kestabilan wilayah serta rakyatnya, termasuk kejadian kebakaran hutan yang sangat merugikan dan membahayakan. Itu karena khalifah memimpin dengan keimanan dan ketakwaan dalam negara yang tunduk pada semua syariat Allah. Selama ia sangat takut akan hisab Allah di akhirat, tidak mungkin baginya tidak ikut resah bersama rakyatnya lalu bekerja keras menyelesaikan masalah rakyat, termasuk karhutla.
Karena itulah, induk dari masalah kebakaran hutan adalah aturan kapitilistik yang bersumber dari kapitalisme, ideologi setan yang mengekang negeri ini. Dan sumber dari solusi bagi karhutla agar selesai dan tidak akan terjadi lagi adalah diterapkannya aturan Allah dalam Al-Quran dan As-Sunnah, seluruhnya. Tidak ada pilihan yang lebih masuk akal dan benar, terutama bagi mayoritas muslim negeri ini yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka, terimalah seruan Allah untuk kembali bertaubat kepada-Nya, wahai kaum yang beriman!
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia untuk agar mereka merasakan sebagian (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (bertaubat).” QS. Ar-Rum: 41. *
Indah Shofiatin
Penulis lepas, alumnus FKM Unair