Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Banyak faktor yang menggambarkan arah mau dibawa kemana negara ini. Salah satu faktornya adalah pemimpin di lembaga tinggi atau lembaga yang menentukan arah tersebut.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap berbagai kebijakan yang menimbulkan kegelisihan rakyat justru para penyelenggara negara semakin "maju tak gentar" mengecilkan arti reaksi atau aspirasi. Kekuasaan yang merasa kuat tanpa dukungan rakyat. Cukup dengan kesolidan elemen di tingkat struktur politik tertentu.
Presiden adalah masalah utama bangsa. Sorotan rakyat di lima tahun jabatan cukup tajam. Dinilai tidak mampu memenuhi harapan aspiratif. Asyik dalam irama sendiri yang kadang bikin jengkel. Tapi tak peduli yang penting "happy". Sindiran media sudah sampai pada tahap "bayangan pinokio". Terakhir penyikapan soal undang undang pelemahan KPK yang ada di tangannya. Korbanpun sudah berjatuhan baik sakit hati, luka, maupun tewas. Aksi masih berjalan.
Periode 2019-2024 dimulai. Ketua KPK kontroversi berlatar belakang Polisi aktif. Tanpa melepas status aktif tersebut maka Ketua KPK adalah bawahan Kapolri. Tetapi bukan semata soal latar belakang tapi bermasalahnya itu. Sebagai orang lama di KPK Irjen Firli Bahuri pernah terkena sanksi etik KPK.
Sebagai Deputi Penindakan ia "meeting" dengan terperiksa kasus PT Newmont Nusa Tenggara Gubernur TGB Zainul Majdi. Masyarakat skeptis pada reputasinya untuk mampu "bersih" dalam menggawangi lembaga anti korupsi.
Salah satu yang kini diangkat dan disorot dalam kasus e KTP yang telah membawa Setnov mantan Ketua DPR ke penjara adalah Puan Maharani. Bersama Gub Ganjar Pranowo diduga mendapat suap dalam kasus tersebut.
Kini Puan Maharani puteri Megawati ditetapkan sebagai Ketua DPR RI. Ke depan gonjang ganjing sang Ketua ini tentu diprediksi membesar kembali. Meski KPK dinilai telah "diamankan" akan tetapi mata rakyat nampaknya belumlah rabun atau buta.
Yang paling anyar adalah terpilihnya Ketua DPD RI La Nyalla M Mattalitti. Tokoh kontroversi ini juga dinilai bermasalah saat menyatakan "siap potong leher" jika Jokowi kalah Pilpres di Madura. Nyatanya Prabowo yang menang. Mantan Ketua PSSI dan pengusaha Jawa Timur ini pernah ditagih untuk potong leher. Tentu saja ngeles.
Dikawal oleh Kapolri yang juga tidak bebas sorotan atas berbagai tindakan represif dan konsep "democratic policing" yang dicurigai sebagai basis "dwi fungsi Polisi" ditambah ramai dugaan skandal buku merah impor daging, menyebabkan situasi yang tidak nyaman ke depan.
Panglima TNI Hadi pun dikritik dengan sikap "pasang badan" yang berhubungan dengan pelantikan Presiden yang secara yuridis juga masih diperdebatkan.
Kandidat Panglima yang diributkan menggantikan yaitu Jenderal Andika sang menantu AM Hendropriyono yang juga tokoh penting negara yang disorot dan dibicarakan.
Negara tanpa GBHN, UUD 1945 yang yang diamandemen berulang, Pancasila yang diperlakukan "tidak sakti", kebijakan negara yang berorientasi investasi hingga membengkakkan hutang luar negeri, serta korupsi yang dilonggarkan oleh fungsi institusi adalah bagian kecil dari skeptisme kemajuan bangsa ke depan.
Slogan gerakan mahasiswa bahwa "reformasi terkorupsi" sangatlah tepat. Quo vadis negeriku.