SEJAK berdiri, BPJS sepertinya masih belum juga bisa terlepas dari persoalan tunggakan hutang kepada rumah sakit. Begitu pula yang terjadi saat ini, BPJS masih menunggak hutang dengan rumah sakit di seluruh Indonesia. Sebagaimana RS mitra BPJS yang lain, kas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menjadi terganggu. Pasalnya, tagihan klaim BPJS Kesehatan dari Juni hingga Agustus belum juga dibayarkan. Nilainya mencapai Rp 78 miliar. Direktur RSUD Ulin Banjarmasin Suciati cukup cemas akan hal ini. Jika klaim tersebut tak dibayarkan hingga Oktober , maka hal itu akan segera mengganggu keuangan rumah sakit.
“Nilainya cukup besar. Jika hingga Oktober untuk klaim September, tagihan bisa mencapai Rp 100 miliar,” sebut Suci, dikutip dari Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), Minggu (29/9).
Padahal uang itu sangat dibutuhkan untuk menjalankan operasional rumah sakit. Selain untuk membayar tagihan listrik dan air bersih, yang paling penting juga adalah membayar tagihan obat-obatan. Untuk membayar ini, pihaknya mengeluarkan Rp 20-25 miliar perbulan. “Uang tersebut juga untuk membayar makanan pasien. Tak mungkin kami setop makanan ini,” tukasnya.
Pihak pengelola selalu berusaha menagih BPJS. Bahkan untuk bulan Juni dan Juli, pembayaran sudah jatuh tempo dan berstatus denda. “Tapi alasannya selalu belum ada. Kondisi keuangan kami paling tinggal satu bulan. Kalau tak dibayar, bisa tiduran saja kami,” kata Suci.
BPJS defisit dan Paradoks Jaminan Kesehatan di Indonesia
Selama ini semua juga tahu dan pihak RS maklumi kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang tengah defisit. Kondisi ini pun terjadi tak hanya di Kalsel. Meski demikian, BPJS harusnya juga memahami situasi keuangan rumah sakit. Yang terdengar lucu, BPJS malah menyarankan agar RSUD Ulin melakukan peminjaman ke bank. “Yang punya utang adalah BPJS Kesehatan, akan tetapi yang disuruh pinjam ke bank adalah pihak rumah sakit. Mana bisa seperti itu,” kata Direktur RSUD Ulin Banjarmasin mempertanyakan usulan tersebut. Logikanya yang tak bisa bayar yang mikir, mengapa malah yang pusing adalah yang punya piutang?
Defisit BPJS telah menyebabkan tunggakan lembaga ini kepada berbagai pihak, sebagai mitranya. Menurut Ketua Umum , Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes, hingga saat ini terdapat tunggakan Rp6,5 triliun yang belum dibayarkan BPJS Kesehatan terhadap RS-RS di seluruh Indonesia.
"Sehingga kami minta yang Rp 6,5 triliun itu segera dibayarkan agar RS bisa kembali bernapas, membayar gaji pegawainya, membayar tagihan obat dan alkes, listrik dan lain sebagainya.”
Karena itu, melansir health.detik.com, PERSI beserta asosiasi perumahsakitan, berencana untuk mendatangi presiden agar segera membenahi defisit yang diperhitungkan bisa mencapai Rp 28 triliun hingga akhir tahun 2019 ini.
Sebenarnya itu semua berawal dari UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dengan mendirikan BPJS berdasar UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Walaupun lafaznya menyebut “jaminan sosial” kedua UU tersebut justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosisal itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3) juga disebutkan bahwa peserta harus membeli premi guna melindungi dirinya sendiri dari bencana sosial. Apalagi ayat (2) Pasal 17, mengharuskan pemberi kerja memungut sebagian upah pekerjanya untuk dibayarkan ke pihak ke tiga yang notabene milik Pemerintah.
Tak beda dengan asuransi kesehatan swasta, BPJS mengandalkan premi dari pesertanya. Apalagi pemerintah menargetkan terlaksananya jaminan kesehatan semesta, sehingga seluruh masyarakat Indonesia menjadi anggota BPJS Kesehatan. Hukumnya jadi wajib, tak seperti asuransi yang lain. Ketika orang-orang yang diwajibkan ikut ini tak sanggup membayar premi (tak sanggup lho ya, bukan tak mau..!), ya akan bisa dipastikan BPJS akan selalu defisit. Harusnya, “bisa dipastikan, semakin banyak anggota, makin defisit BPJS Kesehatan. Jadi di sini ada persoalan besaran premi, sistem tarif, sumber pendanaan dan regulasi," ujar Ketua PERSI menyimpulkan.
Ditambah lagi wacana pemerintah akan menaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) BPJS Kesehatan dua kali lipat (100 %) mulai 1 Januari 2020. Tambah runyamlah kondisinya. Karena tunggakan peserta mandiri BPJS Kesehatan justru akan semakin memburuk. Pasalnya saat ini, 53 persen peserta mandiri menunggak pembayaran sekaligus menjadi salah satu penyebab defisit anggaran. Terlebih, kajian BPJS Kesehatan yang melibatkan UI dan UGM soal daya beli kelompok mandiri memang sudah tidak pas sebelum tarif BPJS naik. Saat ini, daya beli kelompok mandiri kelas 3 hanya Rp 18.500 sementara tarif BPJS Kesehatan sudah sebesar Rp 25.000. Nah, bagaimana ini?
Selama ini, yang mengeluh soal BPJS ini bukan cuma pasien, tapi juga para petugas medis. Sempat terpantau dalam akun facebook salah seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta. Terkait rusaknya pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit yang belum dibayar oleh BPJS. “Hari gini gaji belum juga turun, alasannya BPJS belum juga bayar hutang-hutang ke RS walau sudah berkali ditagih. Dan BPJS berasalan belum bisa bayar karena belum ada uang ? Kan gaji orang tiap bulan dipotongin buat bayar BPJS, “ ujarnya dalam akun tersebut.
Dokter itu juga mengeluhkan nasib pasien-pasien di rumah-rumah sakit akibat hutang BPJS tidak dibayarkan segera. “Hoooi BPJS..kalau ngga sanggup urus JKN (Jaminan Kesehatan Nasional-red) ya udah ngaku aja. Jangan kalian enak-enak gajian, kami yang kerja urus pasien malah ngga makan. Rumah sakit sudah ngga bisa nyediain obat lagi buat pasien, karena hutang rumah sakit sama farmasi juga belum dibayar,” keluhnya. Miris.
SHNet melaporkan, sebanyak 35.000 dokter gigi di seluruh Indonesia yang tergabung dalam PDGI pernah mengancam akan menarik diri dari kemitraan dengan BPJS, jika BPJS mengabaikan tuntutan kenaikan pembayaran. Saat ini pembayaran terlalu murah yang diterima dokter gigi, hanya setara bahkan lebih murah dari uang parkir. Pernyataan keras itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum PB PDGI (Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia) drg. Ugan Gandar usai melantik Pengurus Wilayah PDGI Provinsi Sumatera Barat dan 11 Pengurus Cabang PDGI Kabupaten Kota se Sumatera Barat, setahun lalu di Bukittinggi. “Coba bayangkan, oleh BPJS dokter gigi disetarakan pembayarannya dengan uang parkir yaitu Rp2.000 sekali pelayanan. Bahkan jika seorang dokter gigi sebagai pelayan di Faskes milik seorang owner maka pembayarannya hanya Rp500 setiap melayani. Ini sangat miris memang,” ungkapnya.
Ini paradoks, di saat negara -katanya- berusaha keras memperbaiki kualitas hidup masyarakat di negri +62, tapi pelayanan kesehatan tidak diback up penuh oleh pemerintah. Justru warga dibebani premi asuransi, dokter dan petugas medis digaji sangat kecil, bahkan pusat layanan kesehatan tidak dibayar klaim service-nya. Negara sebenarnya mau apa?
Bagi para pendukung kehadiran BPJS, mereka sering mengatakan bahwa, BPJS telah menolong jutaan rakyat miskin untuk mendapatkan jaminan kesehatan secara gratis dari negara. Agaknya statement itu perlu ditarik kembali. Karena faktanya, pemerintah tidak ikut andil sedikit pun dalam BPJS kecuali sebagai regulator saja. Serta adanya sejumlah premi yang harus dibayar setiap bulannya oleh beberapa golongan masyarakat menunjukkan bahwa negara sama sekali tidak menjamin kesehatan rakyat manapun.
Secara fundamental dengan kebijakan JKN telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Pada jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita.
Semua ini telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar. Padahal di era kini, pasar dikuasai para kapitalis yang predatorik. Mereka bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi. (Umar Syarifudin/2019).
Faktanya, dalam BPJS rakyat kategori miskin bukan mendapatkan kesehatan secara gratis dari negara. Melainkan dari rakyat lain yang telah membayar premi dengan besaran yang telah ditetapkan. Di sini jelas rakyat yang membayar premi tidak sedang melakukan praktik tolong menolong atau gotong royong (ta’awun), namun dipaksa untuk menanggung yang lain. Bahkan ketika dia -bisa saja- tidak sakit, premi yang sudah dibayar tak bisa ditarik lagi. Berbeda dengan asuransi yang lain.
Maka ada yang tercetus, mending menabung sendiri (rekening pribadi). Kalau tidak sakit uangnya bisa dibelikan untuk kebutuhan lain. Kalikan saja 25 ribu x anggota keluarga x berapa waktu membayar, tentu menghasilkan dana yang besar. Itu premi 25 ribu, kebayang kalau lebih besar lagi kan preminya? Apalagi di tengah himpitan ekonomi seperti sekarang, membayar iuran asuransi bisa jadi adalah “kemewahan” buat sebagian orang.
Jaminan kesehatan harusnya seperti apa?
Sebenarnya penguasa atau pemerintah diangkat untuk menjadi pelayan masyarakat. Sebagaimana sabda Rasul Saw: “Seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Harusnya, penguasa menyadari amanah ini, namun karena kapitalisme telah merasuki jiwa-jiwa mereka maka tak heran dengan seenaknya mengabaikan amanah kepemimpinan. Termasuk soal jaminan kesehatan masyarakat.
Berbeda dengan sistem Kapitalis, dalam Islam kesehatan adalah kebutuhan asasi publik di mana pun. Menjadi kewajiban negara menjaminnya, sebagaimana kebutuhan publik yang lain seperti pendidikan dan keamanan. Mengharap jaminan kesehatan dengan pembiayaan semata dari rakyat, jelas tak mungkin. Bagaimana gaji dokter, harga obat, service kesehatan seperti operasi atau opname dsb sanggup ditanggung rakyat? Di tengah kemiskinan, untuk memenuhi gizi seimbang saja, kadang masih sulit. Belum sanitasi, air bersih, dan berbagai aspek penujang kualitas kesehatan yang tak terjangkau semua pihak. Tak heran si miskin lebih mengandalkan obat warung saja, agar tak merogoh kocek terlalu dalam.
Semuanya, sudah dikatakan sendiri oleh pemerintah bahwa sehat itu mahal. Maka dibutuhkan anggaran negara yang tidak terbatas. Dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada seluruh rakyatnya (kaya maupun miskin) secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar. Negara Islam -yang menjadikan aqidah Islam sebagai landasan bernegara- akan memberikan layanan gratis dari sumber pendapatan negara, seperti sumber daya alam yang dikelola langsung oleh negara.
Selama ini sistem kapitalis, telah membuat kekayaan publik dikuasai swasta, bahkan asing maupun aseng. Inilah yang menyebabkan APBN kita tekor. Utang negri +62 ini sudah membengkak menjadi sekitar Rp 5.528 triliun (kurs Rp 14.200 per dollar AS (Kompas.com). Itupun bukan semata untuk pelayanan publik. Makanya APBN negri +62 sangat terbatas utuk mengatasi defisit BPJS. Mikirnya agak lama untuk menambal utang BPJS kepada RS mitranya. Lebih jauh, pelayanan kesehatan masyarakat akan makin terlunta-lunta. Seperti anak ayam yang punya induk, tapi induknya tak merasa punya anak. Motherless, padahal ibunya (negara) tersebut ada dan eksis.
Masyarakat hari ini sangat membutuhkan kemakmuran ekonomi dan kenyamanan dalam mengakses berbagai fasilitas layanan kesehatan. Mereka juga ingin jaminan negara dalam menjaga ekonomi rakyatnya. Dampaknya, publik akan bahagia ketika hidup sehat dan tercukupi segala kebutuhannya. Yang dibutuhkan adalah negara yang berorientasi pelayanan, bukan negara yang mendahulukan kepentingan kapitalis alias pemilik modal. Juga bukan negara yang selalu hitung-hitungan dengan warga negaranya. Rakyat yang bisa bayar saja yang dilayani. Akhirnya kemiskinan, kesehatan yang buruk, pendidikan yang jeblok, dan berbagai kondisi memprihatinkan terus membelenggu negri-negri pengekor kapitalis di manapun, termasuk Indonesia.
Tak ada pilihan lain, seluruh mata rantai persoalan BPJS dan jaminan kesehatan publik harus segera diselesaikan. Bukan sekedar menghentikan atau menambal defiusit BPJS. Tapi perlu un-install sistem kapitalis yang telah membuat rakyat kehlangan jaminan bagi pendidikan, keamanan dan kesehatan secara utuh. Negri muslim mayoritas ini harus kembali kepada aturan Allah yang kaffah, termasuk mengelola ekonominya. Selain berhukum kepada syariah itu wajib, juga plus turunnya keberkahan dari-Nya. "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (TQS. Al-A'raf: 96).*
Mila Haniif
Pegiat Literasi Lit-Taghyir