View Full Version
Sabtu, 26 Oct 2019

Saat Hijrah Terhalang Batu Nisan

 

Oleh :

Ana Nazahah, Revowriter Aceh

 

 

"Tenang An! Nanti kalo aku dah siap Aku akan hijrah. Tapi untuk sekarang aku belum bisa. Masih banyak hal yang harus aku lakukan." katanya suatu hari beberapa waktu lalu. Sebelum ia terbujur kaku berbungkuskan kafan.

Hari itu hari senin, 23 September sebulan yang lalu. Jam telah menunjukkan pukul 12.30. Azan sedang berkumandang waktu Aceh. Waktunya istirahat dari pekerjaan yang sejak pagi kami geluti. 

"An, makan apa kita siang ini," tanyanya dengan wajah bahagia. Lapar telah melilip perut kami sedari tadi. 

"Gimana kalo ayam penyet sambel ijo, aja! Denger- denger warung baru Jogja itu punya sambel nendang," usulku yang dijawab anggukannya. 

"Gimana kalo kita makan di pantai aja!" usulnya. Dan kali ini aku yang mengiyakan. Kenapa tidak? Pantai adalah tempat favorit aku untuk melepas jenuh seharian. Sebelum berperang kembali, melanjutkan pekerjaan di kantor. Menyelesaikan beberapa urusan sebelum pulang.

Sampai di pantai, dia memilih sebuah pohon rindang untuk tempat parkir mobilnya. di sana dia mengeluh sakit kepala. Aku tak terlalu ambil pusing karena urusan pekerjaan memang memusingkan.

"An kepala aku sakit dari tadi, kenapa ya?"

"Mungkin kecapean. Ntar di rumah istirahat juga baikkan." responku sambil  izin ke dia untuk membeli air hangat, karena sudah menjadi kebiasaanku minum air hangat pas makan. 

Aku kembali ke mobil karena ia belum juga turun- turun, sementara perutku rasanya tak bisa lagi diajak kompromi. Dan betapa syoknya aku melihat dia  terletang tak bedaya, masih di depan setir dengan mulutnya mengeluarkan busa.

Aku berteriak sejadi-jadi dan sekuat tenaga. meminta tolong kepada siapa saja. Memohon bantuan agar temenku dibawa ke rumah sakit segera. Setiba di rumah sakit ajal tak dapat dielak. Nyawanya tak dapat ditolong. Sahabatku pergi untuk selama-lamanya.

Aku tak kuasa menahan air mata. Baru sesaat tadi kami bercakap- cakap dan saling bercanda. Tak pernah terbayangkan kini dia terbujur kaku, tak bernyawa.

Merasa ketakutan, ingat akan diri ini yang tengah menunggu giliran di jemput untuk 'pulang' juga. Entah kapan itu. Yang jelas saat ini aku bisa merasakan waktuku di bumi juga tak akan lama lagi.

Di dalam ambulans menuju ke rumah duka, hatiku menerawang beberapa hari sebelumnya, saat dia mengatakan akan segera hijrah. Sungguh dalam angan kami waktu itu, masih banyak waktu sisa. Kami pikir biarlah hidayah pelan- pelan saja datangnya. 

Aku lupa akan salah satu firman Allah yang artinya, "“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (an-Nisa’: 78).

Membayangkan kematian temanku di depan mataku, aku semakin yakin tak ada yang bisa menghalangi ajal jika dia sudah datang. Meski kita sehat baik jiwa atau raga, meski kita dalam keadaan muda dan tengah tertawa bahagia. Tak ada! Tak ada manusia yang bisa menghentikannya. 

Karena itu, tekadku sudah bulat. Segera menghijrahkan diri walau apapun yang terjadi. Karena itulah satu- satu jalan agar hidupku bisa berarti. Aku tak ingin ditipu oleh kesenangan dunia lagi. Sementara kematian tengah mengintaiku, siap menjemputku kapan saja. 

Aku ingin saat- saat hari teakhirku di dunia tiba, tak ada pengesalan yang mungkin kini dirasakan oleh sahabatku yang belum sempat taubat, namun Allah telah jemputnya.

Allah SWT berfirman : "Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". (al- Fajr 23- 24).

Keesokan harinya, aku bangun dari tidur dan menyadari hari kemarin bukan mimpi. Hatiku tambah hancur saat sebuah chat WA masuk menanyaiku atau lebih tepatnya memberitahukan, "An, di mobil ada dua nasi bungkus,  apa kalian belum sempat makan?" Aku hanya bisa menjawabnya dengan nanar. "Apalah arti makanan, jika hijrahnya pun kini terhalang nisan?" Hatiku menyesal.*


latestnews

View Full Version