Oleh: Dino Ari Sujarwo
Menurut data statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK) Keuangan (2019) pada Juli 2019, di Indonesia terdapat 14 Bank Umum Syariah (BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 165 BPRS dengan total aset BUS dan UUS sebesar Rp. 481.174 Miliar.
Perkembangan ini karena didasari dengan usaha dalam melakukan kinerja yang baik. Dalam perbankan syariah, salah satu upaya menjaga kestabilitasan kinerja pada bank adalah dengan dilakukannya audit syariah oleh auditor syariah. Audit syariah yang efektif memerlukan auditor internal yang kompeten (Abd Rahman, Mastuki, Kasim, & Rahimi Osman, 2018).
Kurangnya auditor internal yang berkualitas dan kompeten untuk melakukan audit syariah yang efektif dapat menjadi alasan menurunnya kinerja pada bank tersebut. Maka dari itu telah menjadi salah satu tantangan untuk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk mempekerjakan auditor internal yang memiliki sikap profesional dengan pengetahuan yang luas, keterampilan yang baik dan pengalaman di bidang akuntansi, audit dan hal-hal terkait dengan syariah.
Menurut Iswati (2007) audit internal adalah auditor yang bekerja di suatu entitas/perusahaan (institusi yang bersangkutan) yang bertugas untuk menetapkan dan menilai prosedur-prosedur keuangan dan operasional, menelaah catatan-catatan atas laporan keuangan, menilai sistem pengendalian internal, mendokumentasikan hasil temuannya, memberikan usul dan melaporkan hasil kerjanya kepada pemimpin.
Dan untuk internal audit syariah di perbankan syariah, maka diperlukan juga kompetensi mengenai fiqh muamalah dan ushul fiqh guna tercapainya kepatuhan syariah (Syariah Compliance). Namun dalam perbankan syariah di Indonesia istilah audit internal ialah dikenal dengan Dewan Pengawas Syariah, yang memiliki terminologi bermakna sejajar dengan audit internal dalam bisnis konvensional (Iswati, 2007).
Di beberapa negara bisnis yang berbasis syariah memberikan istilah dewan pengawas syariah dengan berbagai nama, antara lain: shari’a supervisory board (SSB), Shari’a committee (SC), shari’a coincil.
Di Malaysia, Pemerintah Malaysia melalui Bank Sentral Malaysia (CBM) telah memperkenalkan Shariah Governance Finance (SGF) atau Syariah Tata Framework pada 2011 untuk memperkuat struktur tata kelola syariah, proses dan pengaturan (Malaysia, 2010).
Pengenalan SGF telah membawa dimensi baru ke fungsi audit syariah di mana pemeriksaan syariah dilakukan sebagai garis pertahanan ketiga dalam mengurangi risiko syariah ketidakpatuhan dari Lembaga Keuangan Islam (IFI). Oleh karena itu auditor harus memiliki kompetensi dan kewajiban untuk menjaga pengetahuan profesional dan keterampilan seperti yang diharapkan oleh pihak yang berkepentingan.
Namun, dalam prakteknya, audit syariah saat ini yang dilakukan oleh auditor internal dari perbankan syari’ah berdasarkan Kerangka Tata Kelola Syariah. Menunjukkan bahwa mayoritas auditor syariah di bank Islam kurang berpengalaman dan tidak memiliki kualifikasi profesional atau akademis yang baik di Perbankan Islam.
Sampai saat ini, kurangnya pengetahuan baik syari'ah dan akuntansi, telah mengurangi kebutuhan penting auditor syari’ah. Mereka yang memiliki pengetahuan akuntansi cenderung tidak memiliki pengetahuan syari'at dan sebaliknya. Seperti yang kita ketahui bahwa auditor syariah harus memiliki pengetahuan yang baik dalam akuntansi dan juga dalam syari'at untuk dapat memahami dan mengaudit perbankan Islam.
Integritas auditor syariah perlu dianggap cukup mandiri oleh para stakeholder keuangan Islam. Ini adalah praktek umum untuk auditor syari'at dan sangat bergantung pada atau mengikuti saran dari penasihat syari'at tersebut.
Dalam hal ini independensi auditor syari’ah sangat diutamakan. Audit syariah dapat dilakukan oleh auditor internal atau auditor eksternal yang mana mereka harus memiliki cukup pengetahuan dan pelatihan syari'at yang terkait. Auditor syari’ah seharusnya lebih bertanggung jawab karena mereka harus bertanggung jawab untuk stakeholder, termasuk para pemegang saham, masyarakat dan umat. Selanjutnya, mereka bertanggung jawab kepada Allah Swt untuk setiap tindakan.
Oleh karena itu, dalam hal ini akuntabilitas auditor syari’ah sangat di utamakan. Jadi, dalam hal ini auditor syari’ah sangat diperlukan bagi Perbankan Islam agar kinerja auditor dalam mengaudit lembaga keuangan Islam bisa lebih efektif dan efesien.
Dengan memiliki auditor internal syariah yang efektif di perbankan syaiah, akan dapat meningkatkan kinerja dan juga mampu untuk melaksanakan prinsip-prinsip konvensional juga ditambah dengan audit berbasis syariah serta perbankan mampu memastikan bahwa perusahaan telah melakukan kepatuhan syariah.
Referensi:
Abd Rahman, N., Mastuki, N., Kasim, N., & Rahimi Osman, M. (2018). Risk Based Internal Shariah Audit Practices in the Islamic Bank. The Journal of Social Sciences Research, (Special Issue 5), 954–961. https://doi.org/10.32861/jssr.spi5.954.961
Iswati, S. (2007). Audit Internal Pada Bisnis Keuangan Yang Berbasis Syariah Dalam Pencapaian Shari’a Compliance, 2007(3), 358–373.
Keuangan, O. J. (2019). Statistik Perbankan Syariah. Juli 2019. Jakarta. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Malaysia, B. N. (2010). Shariah Governance Framework For Islamic Financial Institusions.