Oleh: Ade Farkah, S.Pd
Entah siapa yang mengajar dan mewariskan adat, karena ia masih tetap lestari hingga kini. Pengertian adat istiadat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya menjadi suatu sistem.
Dahulu kala, seorang yang berasal dari Bani Israil bernama Musa Bin Zafar Samaria atau yang lebih dikenal dengan nama Assamiri, membuat patung emas berbentuk seekor anak sapi betina, yang dapat mengeluarkan suara ketika tertiup angin. Assamiri sendiri merupakan salah satu pengikut Nabi Musa as., kemudian ia kembali mengikuti ajaran nenek moyangnya (menyembah berhala). Sebagaimana kebanyakan dari Bani Israil, yang menghendaki adanya alat peraga dalam menyembah Allah, kondisi inilah yang kemudian menjadi dorongan Assamiri untuk membuat berhala dan disembah oleh kaumnya. Peristiwa itu terjadi saat Nabi Musa meninggalkan kaumnya untuk menerima wahyu dari Allah Swt. di bukit Thurisina selama beberapa waktu.
Sebagaimana Bani Israil dan patung emas sapi betina, yang dianggap sebagai sarana dalam mendekatkan diri kepada Allah. Masyarakat modern pun masih melakukan hal yang serupa. Membuat semacam alat peraga sebagai sarana dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Indramayu, merupakan daerah pantai yang masih sangat kental dengan tradisi warisan leluhur, yakni sedekah darat dan sedekah laut. Ada beberapa macam sedekah darat atau disebut juga sebagai sedekah bumi, seperti: Ngarot yang berasal dari kata "Ngaruat" (bahasa Sansekerta) yang berarti bebas dari kutukan dewa. Tradisi ini hanya terjadi di Kecamatan Lelea. Selain itu, ada juga tradisi Unjungan yang biasa dilakukan dengan mengumpulkan nasi tumpeng, lauk pauk, buah-buahan serta makanan lainnya. Biasanya Unjungan dilakukan saat musim kemarau, yang digelar di area pemakaman umum (Ki Buyut). Kegiatan tersebut didahului dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk, dan siang hari diisi dengan hiburan seperti singa depok, kemudian acara ditutup dengan doa bersama meminta keselamatan.
Ada penghuni darat, ada pula penghuni laut. Karenanya, masyarakat masih meyakini bahwa penunggu laut bisa menjaga dari marabahaya. Upacara Nadran, merupakan ritual tahunan dalam rangka pesta laut sekaligus sedekah laut. Meminta keselamatan, dan berharap adanya peningkatan rezeki dari hasil tangkapan ikan sekaligus terhindar dari marabahaya. Seperti halnya sedekah bumi, prosesi upacara Nadran diawali dengan mengumpulkan sesajen berupa makanan dan kepala kerbau yang masih segar untuk dilarung ke tengah lautan.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan tradisi, selama itu tidak bertentangan dengan syariat dan mengarah kepada kesyirikan. Contoh tradisi tersebut adalah peringatan bulan Syura (Muharram) yang identik dengan sedekah makanan berupa bubur sura, yaitu bubur yang terbuat dari beras dan dicampur dengan aneka bumbu, kacang-kacangan dan lain-lain. Makanan ini kemudian dibagikan kepada tetangga dan juga kerabat. Tidak ada persembahan atau ritual khusus yang mengiringinya.
Meyakini adat istiadat/tradisi/ritual tertentu sebagai penentu keberlangsungan hidup seseorang atau sekelompok orang (jodoh, pati/mati, rezeki, bala/bencana) adalah jelas perbuatan syirik, termasuk dosa besar. Pelakunya diancam oleh Allah Swt. dengan azab yang pedih (dosa yang tidak diampuni). Apalagi di dalam ritual tersebut diiringi dengan berbagai hiburan yang jelas mengarah kepada kemaksiatan, seperti mabuk, dan aktifitas campur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat), jelas ini merupakan paket lengkap kemaksiatan yang berbalut tradisi sehingga mengundang murka Allah Swt.
Dengan tegas Allah nyatakan di dalam QS. An Nisa ayat 36 yang artinya: "Sembahlah Allah dan janganlah engkau menyekutukanNya dengan sesuatu pun". Sangat jelas bahwa apabila suatu ibadah bercampur dengan kesyirikan maka ibadah tersebut tidak akan diterima (bathil).
Dalam ayat yang lain (QS. Al An'am: 88) Allah menjelaskan bahwa seandainya mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Bahkan Allah tidak akan mengampuni orang-orang yang melakukan kesyirikan (QS. An Nisa : 48).
Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai masyarakat Islam yang hanya bergantung kepada Allah Swt sebagai Dzat Yang Maha Kuasa, sudah sepatutnya meninggalkan budaya-budaya kesyirikan yang hanya akan mengundang kemurkaan Allah.
Mempercayai dan meyakini bahwa ritual adat dapat merubah ketentuan Allah adalah termasuk kemunduran berfikir, dan pelakunya tergolong kedalam orang-orang musyrik. Waallahu A'lam. (rf/voa-islam.com)