Oleh: Fitri Suryani, S. Pd*
Menyampaikan kebenaran yang bersumber dari Kalam-Nya merupakan kewajiban bagi semua insan. Karena sesungguhnya tugas melakukan amar makruf nahi mungkar tak hanya kewajiban para ustaz ataupun ulama. Namun, mereka yang telah balig dan berakal sehat, maka kewajiban tersebut telah melekat pada diri yang telah mengikrarkan dirinya sebagai seorang Muslim. Tapi apa jadinya jika dalam menyerukan kebenaran seolah dibatasi?
Sebagaimana Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi berencana menemui penceramah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS). Fachrul mengatakan bahwa ia akan mengingatkan UAS juga kalau ada satu dua butir ceramahnya yang menurutnya tidak pas (Detik.com, 28/10/2019).
Sebelumnya pun, presiden Joko Widodo (Jokowi) menugasi menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi untuk menangkal radikalisme. Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid, pencegahan berkembangnya paham radikal bisa dilakukan dari hulu, yakni dari kurikulum hingga pengajar.
Zainut juga mengatakan kementerian Agama punya ribuan penyuluh. Para penyuluh itu ditugasi untuk menyebarkan ajaran agama yang penuh kasih dan cinta sehingga radikalisme tidak berkembang (Detik.com, 25/10/2019).
Jauh sebelumnya pun Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdhatul Ulama (NU) menyarankan agar Warga Negara Indonesia yang beragama non-Muslim tak lagi disebut sebagai kafir. Kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis (Cnnindonesia.com, 28/02/2019).
Pertanyaannya adalah, apakah setiap orang yang hendak menyampaikan syiar-syiar Islam perlu ditinjau isi ceramahnya pas atau tidak menurut standar manusia? Padahal hakikatnya menyampaikan dakwah bukan apa yang ingin didengar oleh manusia, tapi apa yang seharusnya mereka dengar. Karena mengambil ajaran Islam bukanlah seperti prasmanan, mengambil apa yang diinginkan saja.
Bukankah standar baik buruknya sesuatu berdasarkan dari hukum syara? Sebab jika terpuji dan tercela distandarkan pada manusia, pasti akan mengalami banyak perbedaan yang sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing. Karena sejatinya manusia bersifat kurang, lemah dan terbatas. Jadi apa yang dihasilkan dari keterbatasan manusia dapat menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat, apalagi yang tidak didasarkan pada tuntunan-Nya.
Selain itu, walaupun tak ada pernyataan yang menyatakan bahwa stigma radikalisme tidak melekat pada ajaran tertentu, yakni Islam. Tetapi tak sedikit yang menggiring bahwa mereka yang menjalankan ajaran Islam sesuai tuntunan-Nya seolah dicap berpaham radikal. Belum lagi mereka yang memakai simbol-simbol agama, tak jarang dicap sebagai teroris dan tak sedikit langsung ‘didor’ walau statusnya masih tersangka. Miris!
Kalau seperti itu, salahkah mereka yang beranggapan bahwa Indonesia negeri Muslim mayoritas, tapi rasa minoritas?
Bukankah dalam kalam-Nya surah Fushshilat ayat 33 yang artinya, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang Muslim’”.
Lebih dari itu, sesungguhnya tujuan dakwah Islam adalah mengubah keadaan yang tidak islami menjadi islami supaya bisa mendekatkan diri kepada Allah swt. Karenanya, dakwah tidak hanya menyerukan amar makruf nahi mungkar, tetapi mesti dibarengi dengan usaha untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian, dalam menyampaikan kalam-Nya tidaklah perlu izin manusia. Karena sesungguhnya Allah tidak hanya menciptakan manusia, tetapi sekaligus memberikan pedoman hidup bagi manusia. Sebab yang lebih tahu mana yang terbaik untuk hambanya, tentu yang menciptakannya, yakni Allah swt. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah guru Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara