Oleh:
Irma Setyawati, S.Pd
PRESIDEN Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin menggelar rapat terbatas dengan jajaran menterinya di bidang Politik, Hukum dan Keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, pada Kamis (31/10). Dalam pengantarnya, Presiden sempat melontarkan wacana penggunaan istilah lain untuk mengganti kata radikalisme dengan manipulator agama.
Mengapa istilah radikalisme diganti dengan manipulator agama? Apakah karena sudah mulai ada kesadaran di tengah masyarakat bahwa istilah radikalisme saat ini sasaran tembaknya adalah umat Islam saja sebagai reaksi sensitifitas pemerintah terhadap umat Islam yang getol mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak adil dan tidak mensejahterakan. Sehingga banyak yang sadar dan tidak sejalan dengan pemerintah untuk memerangi radikalisme di tengah-tengah masyarakat. Sehingga perlu ada narasi yang lebih lunak dari radikalisme, yaitu manipulator agama.
Wallahu a’lam, yang pasti pemerintah saat ini sangat kebingungan menghambat laju kebangkitan umat Islam. Karena lawan pemerintah saat ini tinggal umat Islam yang terus mengawasi jalannya pemerintahan, sehingga pemerintah merasa tidak bisa leluasa mengeluarkan kebijakannya yang zalim. Dan label manipulator agama ini juga tidak jauh-jauh dari label radikalisme, yaitu tentunya akan di sematkan kepada kepada umat Islam. Karena hanya umat Islam dan Islam yang mengajarkan perlunya amar ma'ruf nahi munkar, terutama kepada penguasa. Sedangkan ajaran agama diluar Islam, tidak ada yang membahayakan pemerintah karena di dalam agamanya tidak pernah di ajarkan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap kebijakan-kebijakan dzalim penguasa.
Sungguh sadis jika memang pemerintah akan mamasukkan umat Islam yang melakukan amar ma’ruf terhadap kedzaliman pneguasa ke dalam cap manipulator agama. Karena sejatinya, manipulator agama adalah orang-orang yang memakai agama sebagai alat untuk memuluskan kepentingan pribadi dan hawa nafsu mereka. Dan bukankah yang lebih pas dicap sebagai manipulator agama adalah mereka yang selama kampanye merangkul ulama’ dan umat Islam untuk mendulang suaranya,sedangkan ketika jadi suara umat Islam tidak di dengar lagi. Bukankah manipulator agama juga mereka yang menggunakan dana-dana umat Islam untuk kepentingannya, semisal dana haji dan zakat untuk membiayai proyek infrastruktur.
Sudahlah, akhiri drama perang melawan terorisme,radikalisme atau manipulator agama. Itu hanya akan menambah keresahan dan keterpecahan di tengah-tengah masyarakat. Fokus pemerintah saat ini harusnya pada bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan keadilan di tengah-tengah masyarakt. Bekaerja untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan para kapitalis.*