View Full Version
Ahad, 03 Nov 2019

Ayah, Janganlah Jadi Monster untuk Anakmu

 

Oleh:

Ainul Mizan, S.Pd*

 

MEMILIKI seorang anak adalah keindahan tersendiri bagi orang tua. Hari demi hari berlalu dipenuhi dengan gelak tawa, tingkah menggemaskan, dan kelucuan anak-anak. Namun tidak jarang pula orang tua menjadi jengkel bahkan marah saat si kecil mulai berulah. Rewel, menangis keras, dan membuat rumah menjadi berantakan.

Wahai para orang tua, sadarilah bahwa anak-anakmu itu adalah manusia selayaknya kita. Mereka mempunyai perasaan, keinginan dan akal pikiran. Sebagai manusia, mereka ingin diperhatikan, dimengerti, didengarkan, dan dihargai. Kita sebagai orang tua harus bisa memahami karakter anak. Kita bisa menempatkan anak sesuai dengan minat dan kemampuan mereka.

Memang di saat anak itu rewel dan menangis, tentu akan sangat mengganggu ketenangan di dalam rumah. Di sinilah peran orang tua untuk menyelami anak tentang apa yang dirasakannya dan apa yang diinginkannya. Bukan justru orang tua membuat benteng kokoh yang nantinya akan berimbas kepada perkembangan anak di kemudian hari.

 Ungkapan seperti: “Sudah jangan menangis, sebentar lagi ayah datang”, “Udah diam, nanti ayah marah lho…” dan ungkapan lain yang sejenis. Betul ungkapan itu sangat manjur. Seketika anak akan berhenti rewel dan berhenti menangis. Suasana rumah kembali menjadi tenang. Akan tetapi sadarilah…, anak berhenti dari tangisannya itu tidak lebih hanya karena takut. Takut kepada ayahnya.

Akibat yang lebih fatal lagi adalah anak menjadi tidak memiliki kepercayaan diri. Tatkala anak menghadapi sebuah persoalan yang harus ia memilih, ia akan kuatir dengan keputusannya. Takut berseberangan dengan kemauan ayahnya. Takut dimarahi oleh ayahnya. Takut salah. Keadaan demikian pernah penulis rasakan. Waktu itu penulis menentukan pilihan jurusan IPS saat naik kelas 3 SMA. Sontak ayah marah. Ayah membandingkan anaknya sendiri dengan anak tetangga.

“Anak tetangga tetangga saja yang kurang pandai, bisa masuk jurusan IPA kok, kamu nggak bisa”. Ini salah satu ungkapan beliau. Akhirnya penulis pun menuruti keinginan ayah untuk masuk ke jurusan IPA. Ya, penulis cukup memahami dan bisa menikmati mata pelajaran IPA dengan baik. Kami awalnya memilih IPS karena terdapat kecenderungan membaca buku-buku di perpustakaan kota yang berisi fenomena sosial dan pemikiran.

Dulu sewaktu awal SMA memang pernah kami melakukan pemberontakan, ingin bebas. Pernah kami mempunyai kebiasaan merokok menjelang kelulusan SMP hingga kelas 1 SMA. Rasanya bisa rileks saat merokok. Kami bisa berhenti dari merokok itu tatkala belum genap satu semester di kelas 1 SMA, nafas terasa tersengal-sengal untuk mengayuh sepeda ontel dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Cuman jangan ditanya, SMP dan SMA tempat kami belajar adalah sekolah unggulan di kota kami.

Wahai ayah, anak berhenti dari melakukan kesalahan tidak perlu untuk dimarahi. Tidak perlu dihardik. Berilah pengertian kepada anak. Berikanlah kepada anak akan pilihan-pilihan seraya memberikan pemahaman atas konsekwensi dari setiap pilihan tersebut.

Wahai ayah, ajaklah anakmu untuk bercerita. Bercerita akan keinginan-keinginannya. Bercerita akan harapan dan cita-citanya. Belajarlah untuk mendengar setiap keluh kesah anak. Tegurlah mereka dengan kasih sayang. Bukan menegur sebagai sosok yang menakutkan bagi anak. Tanamkanlah kedisiplinan murni pada diri anak. Pahamkanlah kepada anak bahwa Allah SWT selalu mengawasi dan melihat setiap perbuatan hambaNya.

Wahai ayah, janganlah menjadi ‘monster’ bagi kehidupan anak. Ayah tentu ingin melihat anak-anak mencintainya dengan tulus, karena anak menyadari betul bahwa ayahnya adalah manusia yang penuh kasih, bukan sesosok ‘monster’ yang menakutkan.*Penulis tinggal di Malang, Jawa Timur


latestnews

View Full Version