Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Gelaran isu Radikalisme seiring dengan telah dilantiknya jajaran Kabinet Indonesia Maju seolah menjadi program kerja pertama dan utama kabinet kali ini.
Sepekan setelah melantik anggota kabinetnya, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/10/2019), presiden sempat melontarkan wacana untuk mengganti istilah radikalisme dengan istilah lain, manipulator agama, misalnya.
Lontaran wacana tersebut tentu hanya presidenlah yang tahu alasannya, namun tentu kita boleh-boleh saja menduga, jangan-jangan karena terlalu banyak reaksi publik sehingga terlontar wacana tersebut.
Pantulan lontaran bola radikalisme tak diperhitungkan sebelumnya oleh pelontarnya yang ternyata balik kembali kepada si pelontarnya dengan berbagai reaksi.
Kaget dengan kondisi lontaran bola radikalisme yang kembali lagi ke si pelontarnya, bak main sulap istilah radikalisme ingin segera diganti.
Kalau dalam sulap biasanya si pesulap mendahuluinya dengan mantra-mantra. Kalau sulap radikalisme mantranya mungkin saja bisa: Sim Salabim Brak Gedabrak Radikalisme jadi Manipulator Agama. Bray....malah lebih terang sasarannya, agama.
Padahal menurut calon kapolri Idham Azis sebelum dilantik menjadi kapolri menyatakan bahwa radikalisme tidak bisa dikaitkan dengan agama Islam. Pernyataan ini dilontarkannya saat menjawab pertanyaan dalam proses uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI, Rabu (30/10/2019).
Sekali lagi diulang, pernyataan Idham Azis tersebut disampaikannya sebelum yang bersangkutan dilantik menjadi kapolri. Pertanyaannya, akankah Idham Azis masih komitmen dengan pernyataannya saat sebelum resmi jadi kapolri?