View Full Version
Senin, 11 Nov 2019

Kritik Rakyat

 

Oleh:

Suryati

 

UJARAN kebencian di media sosial yang berujung ke kasus hukum telah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubungannya dengan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) (Kompas.co.id, 13/10/19). Hal ini menjadi na’as bagi beberapa anggota TNI yang dicopot jabatannya akibat dari cuitan istri mereka di media sosial. Dilansir dari laman kontan.co.id (12/10), tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Wiranto.

Menurut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara ( BKN) Mohammad Ridwan saat ditemui kompas.com (13/10) mengatakan, aturan mengenai kode etik dan disiplin PNS diatur dalam peraturan presiden (PP). Dalam hal ini PP Nomor 42 Tahun 2004 mengatur tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, sedangkan PP Nomor 53 Tahun 2010 merupakan aturan tentang disiplin PNS. Sorotan tajam terkait kritikan rakyat dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap penguasa, nampaknya telah mencoreng asas dari demokrasi itu sendiri.

Padahal demokrasi mengklaim bahwa kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Pemerintah hanyalah instrumen kerja rakyat untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam hidup dan kehidupannya. Sebagai pemerintah, sudah semestinya bekerja sesuai dengan visi dan misi yang dicita-citakan rakyat. Ketika kerja pemerintah tidak sesuai dengan visi dan misi rakyat, maka pemerintah harus rela dan siap dikritik. Dengan kata lain, dalam negara demokrasi, kritik tidak hanya perlu, tapi wajib.

Terkait kritikan yang dilontarkan rakyat kepada penguasa dalam hal ini merupakan kebebasan berpendapat di muka umum baik secara lisan maupun tulisan yang telah dijamin oleh negara. Kebebasan berpendapat itu ketika ditujukan kepada penguasa dimaknai sebagai bentuk ujaran kebencian. Padahal, bukankah setiap kritikan yang dilontarkan kepada penguasa merupakan bentuk muhasabah atau perbaikan terhadap segala bentuk kinerjanya selama ini?

Dengan kritik, diharapkan pemerintah mawas dan sadar diri. Ternyata, harapan itu bak bertepuk sebelah tangan. Semakin dikritik, pemerintah semakin “garang” dan merah telinga, bukannya bersyukur dan berterima kasih telah diingatkan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah menyatakan pemimpin adalah payung Allah di muka bumi, tempat berlindung bagi tiap orang yang terzalimi. Akan tetapi, tidak selamanya para pemegang amanat berbuat adil.

Nah, apabila mereka telah bersikap adil melaksanakan amanat rakyat, maka tentu sikap tersebut dianggap sebagai tabungan pahala dan amal bagi sang pemimpin.  Jika menemui tipe pemimpin seperti ini maka wa 'ala ar ra'yah asy syukr, rakyat wajib bersyukur. Namun sebaliknya, apabila didapati pemimpin berbuat zalim, maka di situlah letak cobaan, wa 'ala ar ra'yat as shabru, rakyat mesti bersabar.

Sebab, tatkala seorang pemimpin bersikap tidak adil, maka sejatinya langit telah bergetar dan Allah mendengarkan doa rakyat yang terzalimi. Artinya, untuk kepemimpinan yang tidak mengindahkan keadilan, maka kemurkaan Allah akan menyertainya. Cepat atau lambat, rahasia Allah akan berlaku bagi mereka yang bertindak zalim.*


latestnews

View Full Version