Oleh:
Nawfa Andini
Revowriter Karawang
MENARIK tentang apa yang menjadi pokok pembahasan Kabinet Indonesia Maju (KIM). Isu ini mencuat ke ranah publik. Meroket. Hingga menjadi tema pembahasan yang seksi untuk dikuliti. Deradikalisasi. Istilah yang tak asing lagi untuk didengar masyarakat luas yang melek sosial media. Yang tak melek sosial media? Tema seksi yang menjadi pembahasan utama mereka tetap sama, yakni soal memenuhi kebutuhan perut yang kian mencekik.
Kita tahu, apa yang menjadi semangat kerja dari Kabinet Indonesia Maju yang baru ini ada agenda yang menjadi perhatian bersama yakni tentang isu menangkal deradikalisasi. Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf tegas mengintruksikan soal penanganan tangkal radikalisme. Terbukti dari beberapa pernyataan para tokoh menteri semakin menderaskan isu deradikalisasi ini. Pun demikian, kabarnya Kementerian Dalam Negeri akan membentuk pengawas radikalisme hingga ke tingkat kecamatan. Lantas seberapa urgensinya isu deradikalisasi ini? Dibanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang kian menyiksa rakyat? Kenaikan BPJS? Juga kenaikan tarif dasar listrik yang kian memusingkan rakyat? Atau isu degradasi moral yang membuat miris? Yang hampir tak pernah disinggung oleh para pemegang tungku kekuasaan?
Yang menjadi perhatian publik, justru meroketnya pernyataan-pernyataan nyentrik para menteri terkait isu deradikalisasi ini. Soal Menteri Agama yang melarang ASN menggunakan cadar dan celana cingkrang karena bisa jadi terindikasi radikalisme. Begitupun dengan pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD terkait anak SD yang sudah memahami arti mahrom, dikatakan sebagai virus jahat dan adanya indikasi munculnya benih-benih radikalisme atau deradikalisasi pada anak. Lantas apa sejatinya deradikalisasi atau radikalisme itu sendiri? Apa yang menjadi patokan dan batasan dari radikalisme itu? Jika faktanya narasi-narasi tadi mengarah pada ajaran agama tertentu? Apalagi jika bukan Islam dan ajarannya yang tertuduh.
Sebagai anak bangsa, kita perlu kritis terhadap isu-isu sensitif yang berkembang. Karenanya isu ini akan berbuah menjadi opini umum jika terus menerus di blown up. Tentunya, berpengaruh pada pola pikir dan cara pandang masyarakat. Perlu adanya pengkajian tentang apa kolerasinya antara identitas dan ciri kebangsaan Indonesia dengan istilah deradikalisasi itu sendiri. Sebab apa? Sebab dari istilahnya saja sungguh tidak familiar dalam benak masyarakat Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin pada acara Fakta - TVone yang dipublikasikan pada tanggal 4/11/2019, bahwa kata 'deradikalisasi' bukan identitas dan cara Indonesia.
Menelisik lebih dalam dari pernyataan tokoh besar Muhammadiyah, Din Syamsudin dalam acara Fakta di TV One yang dipublikasikan 4 November 2019 dengan tema 'Melawan Radikalisme, Siapa yang Radikal?', "Deradikalisasi seingat saya itu proposal keinginan Presiden Jos Bush waktu datang kedua kalinya di Bogor setelah di Bali, dan mengundang tokoh Islam. Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) Alm. Kiai Haji Ahmad Hasyim Muzadi tidak berkenan hadir. Saya pun kemudian ikut serta juga tidak mau hadir. Namun didatangi ya saya kira intel ya. Yang ngajak-ngajak diskusi dan mereka menawarkan program deradikalisasi. Yang kedua ingin menghapus kurikulum agama atau menyesuaikan kurikulum agama di madrasah dan pesantren. Waktu itu kita tolak. Maka saya meyakini bahwa deradiklisasi sebenarnya program luar. Bukan identitas Indonesia dan cara Indonesia. Istilahnya sendiri 'deradikalisasi' gak akan mau yang dituduh radikal akan ikut. Karena dia sudah dituduh sebagai objek." Tegas Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin.
Isu semakin berkembang dengan adanya pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengusulkan mengganti istilah radikalisme ini menjadi frasa 'manipulator agama'. Seperti yang dilansir CNN.com, "Harus ada upaya yang serius untuk mencegah meluasnya, dengan apa yang sekarang ini banyak disebut yaitu mengenai radikalisme," kata Jokowi.
Hal itu Jokowi sampaikan saat membuka rapat terbatas dengan topik Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Kantor Presiden, Kamis (31/10).
Jokowi lantas melempar wacana untuk merubah istilah gerakan radikalisme. Dia menyebut frasa 'manipulator agama' mungkin bisa menjadi pengganti dari 'gerakan radikalisme'.
"Atau mungkin enggak tahu, apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama," ujarnya.
Uraian yang disampaikan Din Syamsudin semakin memperjelas arah isu deradikalisasi ini. Seiring dengan usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengusulkan sebuah frasa pengganti radikalisme itu sendiri menjadi 'manipulator agama'. Secara konteks frasa dari manipulator agama, tentunya akan menambah keruwetan dalam benak masyarakat. Tidak jelas. Apakah nama baru 'manipulator agama' ini agar lebih di terima sebagai identitas dan cara indonesia dibanding dengan kata 'radikalisasi' itu sendiri?
Umat mulai melek. Umat mulai sadar. Bahwa sejatinya isu radikalisme ini adalah alat untuk membungkam geliat kebangkitan umat Islam. Untuk membungkam dakwah Islam. Untuk membungkam para aktivis Islam yang memperjuangkan syariah Islam. Sejatinya, semakin deras perlawanan para penghadang dakwah. Percayalah, fajar kemenangan itu semakin dekat. Pertanyaannya, apakah kita puas hanya sebatas menjadi penonton?*