Oleh:
Ummu Bisyarah
MAJELIS Ulama Indonesia Jawa Timur mengimbau para pejabat tidak menggunakan salam pembuka lintas agama ketika memberi sambutan resmi. Dalam surat imbauan bernomor 110/MUI/JTM/2019, MUI meminta umat Muslim mengucapkan salam sesuai agamanya (dilansir dari katadata.co.id 11/11/19)
Himbauan tersebut cukup menuai pro dan kontra warga Indonesia bahkan komen - komen pedas netizen di dunia maya menghujani MUI. Contohnya netizen bernama Priyo Sambadha ini dalam akun @PSambadha berkicau, “MUI ini sebenarnya makhluk apa? Lembaga pemerintah, LSM, ormas, wakil Tuhan di bumi, atau apa?”. Namun tak sedikit pula yang pro terhadap MUI karena salam adalah sebuah doa dan bagian dari ibadah.
Salam semua agama jamak dipakai sejak zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia kerap mengawali pidatonya dengan perkataan ini, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, salam kebajikan.”
Shalom atau salam sejahtera ditujukan untuk agama Kristen Protestan dan Katolik. Lalu, Om Swastiastu untuk penganut agama Hindu, artinya semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan. Namo Buddhaya artinya terpujilah Budha. Dan terakhir, salam kebajikan ditujukan bagi penganut Konghucu.
MUI tingkat pusat menyetujui imbauan larangan salam enam agama tersebut. Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas mengatakan kepada CNNIndonesia.com, ketentuan itu sudah sesuai dengan Alquran dan Alhadis. Salam ibarat doa sehingga erat dengan dimensi teologis dan ibadah.
Karena itu, menurut dia, seorang muslim harus berhati-hati dalam berdoa, jangan sampai melanggar ketentuan. “Kalau ada orang Islam dan orang yang beriman kepada Allah berdoa dan meminta pertolongan kepada selain Allah SWT maka murka Tuhan pasti akan menimpa pada mereka,” ucap Anwar.
Tuduhan tidak toleranpun menyerang MUI khususnya, bahkan tuduhan ini banyak disampaikan oleh kaum muslim itu sendiri. Dalam masalah ini MUI pastilah sudah mengkaji secara mendalam dengan pertimbangan dalil - dalil syara' yang memang Rosulullah tak pernah mengajarkan salam lintas agama. Jangan kalian mengawali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani.... ( HR Muslim)
Tuduhan intoleran akhir - akhir ini terus dihembuskan dan menyerang umat Islam. Bahkan berbagai survey dilakukan mengenai isu toleransi ini. Salah satu hasil survei soal tren persepsi publik tentang demokrasi, korupsi dan intoleransi. Hasilnya, ada peningkatan soal intoleransi sejak 2016 sampai 2018. Dengan provokatif, peneliti LSI, Burhanuddin, mengatakan bahwa ada kaitan Aksi 212 dengan praktik intoleransi. Ia menyebut Aksi 212 bukan merupakan puncak radikalisme, tetapi Aksi 212 membuka keran naiknya intoleransi. Namun apakah benar umat Islam adalah umat yang todak toleran?
Toleransi secara bahasa berasal dari kata tolerance. Maknanya adalah “to endure without protest”, yang berarti menahan perasaan tanpa protes. Menurut Webster’s New American Dictionary, arti toleransi adalah memberikan kebebasan dan berlaku sabar dalam menghadapi orang lain.
Kata tolerance kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi. Berasal dari kata toleran. Mengandung arti: bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Menurut kaum liberal,munculnya intoleran dan kekerasan yang pelakunya adalah muslim disebabkan adanya “truth claim” (klaim kebenaran) dan “fanatisme”. Untuk itu, menurut mereka, agar umat Islam bisa bersikap toleran terhadap penganut keyakinan lain, truth claim dan fanatisme harus dihapuskan. Caranya dengan “menyakini kebenaran agama lain”.
Padahal pandangan ini jelas keliru. Dalam Islam batas - batas toleransi sangatlah jelas.Pertama, Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sungguh agama yang diakui di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali Imran [3]: 19).
Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariah. Termasuk kasus memberikan salam ini, sesungguhnya telah jelas hukumnya dalam Islam.
Ketiga, Islam tidak melarang kaum Muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerjasama bisnis, dan lain sebagainya.
Keempat, adanya ketentuan-ketentuan di atas tidak menafikan kewajiban kaum Muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariah. Orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu, diperlakukan sebagaimana kaum Muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islam sama dengan kaum Muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Adapun terhadap kafir harbi maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang Muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun dengan kafir harbi fi’l[an].
Sejarah dan fakta membuktikan bahwa kaum muslim adalah unat yang sangat toleran. Maka jika ada yang menuduh kaum muslim adalah umat intoleran maka sejatinya dialah yang tidak toleran atau bahkan tak tau aturan agama Islam yang dianutnya.Wallahualambishawab.*