View Full Version
Sabtu, 16 Nov 2019

MUI, Lantangkan Suaramu untuk Tegaknya Syariat

 

Oleh:

Sri Wahyuni, S.Pd*

 

BEBERAPA waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim mengimbau kepada umat Islam dan pemangku kebijakan atau pejabat untuk menghindari pengucapan salam dari agama lain saat membuka acara resmi. Imbauan tersebut termaktub dalam surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin. Abdusshomad menjelaskan dalam Islam, salam merupakan doa, dan doa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bakan di dalam Islam doa adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukanlah sekedar basa-basi.

Begitu juga pada agama lain, Abdusshomad beranggapan penyebutan salam di agama hindu, kristen, buddha serta agama lainnya memiliki arti tersendiri dan merupakan doa kepada Tuhannya masing-masing. Beliau juga tak setuju jika pengucapan salam seluruh agama sekaligus itu disebut sebagai bentuk toleransi dan upaya menghargai perbedaan. Menurutnya, salam tak semestinya dicampuradukkan, jika dilakukan hal itu justru merusak ajaran agama tertentu (10/11/2019).

Apa yang telah dilakukan oleh MUI adalah sebuah sikap kritis yang patut untuk diapresiasi, mengingat ucapan salam semua agama pada pembukaan acara resmi  telah menjadi kebiasaan oleh umat Muslim, khususnya bagi para pemangku kebijakan serta pejabat publik. Disamping itu, yang tak kalah penting adalah perlu adanya dorongan lebih kepada MUI untuk menolak sikap sekuler liberal para pejabat publik muslim. Sebab faktanya dalam hal berpolitik, kini banyak pula pejabat muslim yang membuat kebijakan tak mengacu pada syariat Islam. Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu dimana dana haji digunakan untuk pembangunan infrastruktur, wacana pengesahan RUU PKS yang secara nyata cacat isinya, larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi PNS, diberlakukannya hukuman penjara bagi pengkritik penguasa, wacana pemberlakuan hukum kebiri pada pelaku pedofilia, bahkan sempat ada wacana untuk menghapus pendidikan agama di sekolah, ini jelas telah menyalahi tujuan dari pendidikan itu sendiri yakni untuk membentuk kepribadian Islami anak, dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan lainnya yang bertentangan dengan Syariat Islam.

Bukan hanya itu, malah saat ini banyak pula pejabat muslim yang menentang pemberlakuan Syariat Islam dengan berbagai alasan, diantaranya tak bisa diterapkan karena Indonesia telah memiliki sistem baku yang sudah ada sejak dulu, sehingga khawatir jika Syariat Islam diterapkan akan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Tentu alasan yang demikian sangat keji seolah penerapan aturan Allah hanya akan menimbulkan kerusakan dan perpecahan negeri. Selain itu, memperjuangkan Syariat Islam justru diberi label radikal hingga berujung pada persekusi.

Dengan demikian, MUI sebagai lembaga yang di dalamnya adalah kumpulan ulama’ pewaris nabi sudah sepatutnya lantang menyuarakan syariat dalam menyikapi segala persoalan, agar tak ada lagi kebijakan-kebijakan bathil. Sebab kebijakan yang rusak akan menyengsarakan rakyat, bahkan menimbulkan kerusakan dan kekacaun di tengah masyarakat. Maraknya perilaku seks bebas, penyimpangan seksual, pembunuhan, kemiskinan, dsb adalah dampak dari kecacatan hukum yang berlaku.*Penulis tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur


latestnews

View Full Version