YANG dimaksud 'Desa Hantu' disini bukanlah desa yang penduduknya dari golongan hantu atau jin. Tapi yang dimaksud Desa Hantu disini adalah desa fiktif, atau desa yang hakikatnya tidak ada namun diada-adakan.
Fenomena desa hantu ini pertama kali diungkapkan Sri Mulyani Indrawati saat melaporkan evaluasi kinerja APBN Tahun Anggaran 2019 di ruang rapat Komisi XI DPR RI. Dia menyebut ada desa baru karena adanya dana desa.
Kemenkeu menggandeng Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengusut aksi akal-akalan ini. Kemendagri mencatat ada empat desa fiktif di Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menanggapi hal itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar justru membantah adanya desa siluman. Dia pun bingung dengan adanya kabar desa fiktif yang menyedot anggaran dana desa. (m.detik.com, 08/11/19).
Meskipun dari Mendes menolak anggapan adanya kesengajaan menciptakan desa fiktif tersebut, publik sudah bisa menebak kebenarannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap ada proyek besar pemerintah atau aliran-aliran dana besar (seperti dana desa ini) adalah lahan bagi lingkar kekuasaan untuk menciptakan peluang menyedot sebagian anggaran negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Pihak ini akan senantiasa mencari-cari cara untuk bisa mengelabuhi dan memanipulasi data demi mendapatkan keuntungan yang besar. Kauntungan yang akan mengalir memenuhi kantong-kantong pribadi mereka dan kelompoknya.
Namun jika kita ingin menyudahi masalah seperti ini, kita harus menelaah lebih dalam akar masalah ini. Masalah ini sejatinya bukanlah masalah teknis yang bisa diatasi dengan perbaikan atau akurasi data dan verifikasi penyalurannya. Karena ini adalah karakter kuat yang melekat pada birokrasi tanpa ruh taqwa.
Pola sikap suatu birokrasi tidak bisa lepas dari sistem yang melingkupinya. Sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini telah mem-brainwash setiap orang yang ada di dalamnya menjadi cinta dunia. Kebahagiaan baginya adalah ketika mendapatkan sebanyak-banyaknya meteri. Sungguh birokrasi yang jauh dari taqwa.
Jangankan saat ada aliran dana besar, dalam aktivitas keseharian pun birokrasi dari instansi mana pun tidak lepas dari suap-menyuap. Meskipun hampir di semua kantor birokrasi terpajang tulisan: Tidak Menerima Suap Dalam Bentuk Apapun, nyatanya sebaliknya. Tidak pernah terealisasi suatu urusan rakyat jika tidak ada uang pelicin (suap).
Kita sebagai rakyat sebenarnya sudah muak dengan orang-orang birokrasi yang haus uang. Kita tidak ingin negeri ini terus menghadapi kondisi yang memilukan. Dan karena akar masalahnya adalah sistem Kapitalisme yang membuat orang rakus akan harta dunia, maka sudah sepantasnya jika kita segera mengakhiri sistem busuk ini, menggantinya dengan sistem yang akan membawa rahmat untuk semesta alam. Tiada lain adalah sistem Islam yang akan menerapkan Islam secara Kaffah, dan yang akan membimbing rakyatnya untuk melaksanakan seluruh aturan Allah SWT. atas dasar taqwa. Wallahu'alam bishshowwab.
Ummu Kayyisa, S.Pd
Member Komunitas Muslimah Peduli Generasi