View Full Version
Senin, 18 Nov 2019

Desa Siluman, Tanda Negeri Tanpa Jati Diri

 

Oleh:

Dita Lupita Sari, M.T, Dosen tinggal di Malang, Jawa Timur

 

BEBERAPA saat yang lalu publik dikejutkan dengan berita adanya desa siluman yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat melaporkan evaluasi APBN Tahun Anggaran 2019.Beliau menyebut bahwa muncul desa-desa baru dikarenakan adanya program dana desa. Nama desanya ada tapi tidak ada penduduknya namun terus menerima dana dari pemerintah setiap bulan untuk program desa.

Fenomena pemalsuan data untuk mendapatkan keuntungan bukan hal yang baru di negeri ini. Mulai jajaran petinggi hingga pejabat level RT sudah maklum dengan adanya mark-up (penggelembungan) atau pemalsuan data. Malah sangat aneh jika mendapat dana pemerintah tapi tidak dimark-up. Dalihnya biasanya adalah kalau tidak di mark-up dananya tidak bisa untuk membiayai kegiatan lain. Sebut saja kasus dana ATK DKI Jakarta yang menghebohkan baru-baru ini. Kaget dan menjadi olok-olokan publik tapi sudah sama-sama tahu bahwa itu adalah keumuman yang terjadi di negeri ini.

Ada dua hal yang menjadi sorotan utama dari keadaan ini. Pertama adalah adanya birokrasi yang sangat rumit dan menyulitkan dalam sistem hari ini. Sebagaimana alasan yang sering diungkapkan oleh pelaku penggelapan adalah bahwa dana digelembungkan untuk membiayai kegiatan yang lain yang tidak ada pos nya dalam belanja negara. Sebagaimana yang sering dikeluhkan oleh para guru ketika mengolah dana BOS. Setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda-beda namun harus disesuaikan dengan pos dari pemerintah yang terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan dari sekolah.

Hal ini dikarenakan adanya saling curiga antar pemerintah dengan penerima dana sehingga birokrasi dibuat sangat rumit dan tidak fleksibel. Saling curiga inilah yang menjadi sorotan kedua. Adanya degradasi moral yang diakibatkan rendahnya pembangunan kualitas manusia yang menjadikan munculnya saling curiga satu sama lain. Tidak ada pembangunan jati diri dan karakter manusia yang baik. Karena negeri ini tidak punya jati diri yang jelas. Sehingga hal ini menjadikan solusi berputar kembali kepada permasalahan yang pertama yaitu dibuatlah sistem birokrasi yang rumit. Seperti lingkaran permasalahan yang tidak ada ujung pangkalnya.

Ketika ditarik benang merah permasalahan sejatinya ada 3 hal yang harus diperbaiki. Harus ada manusia yang berkualitas, adanya kontrol masyarakat dan adanya sistem kehidupan yang sesuai. Dari sini akan muncul pertanyaan baru. Bagaimana menentukan kadar manusia berkualitas? Bagaimana menentukan standar benar dan salah dalam masyarakat sehingga munculnya kontrol masyarakat? Bagaimana menentukan mana sistem kehidupan yang paling sesuai?

Jika kita menilik kepada pertanyaan-pertanyaan tersebut sejatinya akan ada kebingungan yang terjadi di antara kita. Karena negeri ini tidak memiliki jati diri yang jelas. Menentukan standar benar dan salah dengan kebingungan. Yang ada akhirnya mengadopsi sistem dari negara lain.

Jati diri manusia selayaknya ditentukan dari standar benar dan salah menurut penciptanya. Manakah manusia baik dan mana manusia buruk haruslah distandarkan kepada baik dan buruk dari pencipta manusia. Karena Pencipta paling tahu ciptaanNya. Siapa yang bisa menjamin kebenaran adalah kebenaran jika itu keluar dari mulut manusia yang sama-sama tidak mampu meramal masa depan atau bahkan tidak mampu melihat di balik tembok tanpa alat bantu.

“…..Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (TQS Al Baqarah 216).*


latestnews

View Full Version