View Full Version
Selasa, 19 Nov 2019

Fatwa MUI Bukan Hukum Positif?

SIAPA yang tak kenal MUI (Majelis Ulama Indonesia), lembaga independen yang mewadahi para ulama untuk membimbing ummat Islam yang ada di Indonesia. Ulama sendiri ialah pewaris Nabi yang sudah seharusnya lantang mensyiarkan syariah (hukum Islam) dalam menghadapi segala problematika permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat.

Sejalan dengan fungsi ulama tersebut, MUI Jawa Timur megimbau ummat Islam khususnya para pejabat publik muslim untuk tidak lagi mengucapkan salam pembuka dari agama lain saat membuka acara resmi. MUI Jatim menyatakan bahwa mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh ummat Islam itu adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah, mengandung nilai syubhat dan sudah sepatutnya dihindari oleh ummat Islam. Imbauan ini terdapat dalam surat edaran MUI Jatim No. 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.

Secara tegas, Ketua MUI Jatim menjelaskan bahwa dalam Islam, salam merupakan do’a, dan do’a adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. “Sehingga kalau saya menyebut Assalamualaykum itu do,a semoga Allah SWT. memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam. Begitu pula pada agama lain,penyebutan salam di agama Hindu, Kristen, Buddha serta agama lainnya memiliki arti tersendiri dan merupakan do’a kepada Tuhannya masing-masing.” ujar Ketua MUI Jatim.

Kemudian imbauan ini didukung oleh MUI Pusat, Sekjen MUI Anwar Abbas menjelaskan bahwa dalam Islam setiap do’a terdapat dimensi teologis dan ibadah. Dan ummat Islam hanya diperbolehkan berdo’a dan meminta pertolongan kepada Allah semata. Apalagi UUD 1945 pasal 29 telah menjamin kita untuk beribadah dan berdo’a sesuai dengan agama dan kepercayaan yang kita anut. Alasan apalagi yang bisa menyanggah imbauan MUI Jatim ini?

 

Toleransi atau Sekulerisme?

Dikeluarkannya surat edaran MUI Jatim berkenaan dengan salam pembuka lintas agama ini pastilah menimbulkah pro kontra di ruang publik. Salah satu alasan yang populer dilontarkan untuk membantah imbauan semisal ini ialah berkenaan dengan “toleransi” dan menghargai perbedaan. Sehingga berkenaan dengan imbauan ini, Ketua MUI Jatim juga menegaskan tidak setuju apabila pengucapan salam seluruh agama sekaligus itu disebut sebagai bentuk toleransi dan upaya menghargai perbedaan. "Kaitannya dengan toleransi, kita setuju dalam perbedaan, saling menghormati, menghargai. Bukan berarti kalau orang salam nyebut semua itu wujud kerukunan. Itu perusak kepada ajaran agama tertentu," ujarnya.

Sikap kritis dan berani yang ditunjukkan oleh MUI Jatim ini patut kita apresiasi. Sebenarnya tidak hanya dalam kasus seperti ini saja, namun seluruh fatwa ulama (dalam hal ini yang dikeluarkan oleh MUI) harus kita patuhi selama fatwa-fatwa tersebut memang lahir dari aturan Islam (Syariah – bagaimana Islam memandang).

Maka sangat mengherankan apabila masih ada orang Islam yang acuh terhadap fatwa yang dikeluarkan ulama dengan anggapan bahwa fatwa tersebut bukanlah hukum positif yang bisa mengikat seluruh masyarakat. Dan mereka dengan sesuka hati tetap menjalankan apa yang menurut mereka benar selama hukum positif tidak melarangnya, yang kemudian dipercantik dengan embel-embel toleransi tadi. Seolah-olah mereka menempatkan bahwa landasan hukum positif atau hukum negara itu lebih kuat dibanding dengan fatwa ulama (yang dasarnya diambil dari hukum Islam). Mereka menganggap bahwa persoalan yang diimbau oleh ulama itu adalah pilihan individu masing-masing. Hal ini benar-benar bisa terjadi dan kita rasakan sendiri ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat yang sekuler.

 

Berislam Masalah Individu?

Begitu sedih rasanya merasa terasing di negeri berpenduduk mayoritas muslim. Ketika kita memahami bahwa Islam adalah agama sekaligus mabda yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dan sebagai muslim yang beriman kita ingin taat sepenuhnya terhadap Islam. Namun disisi lain, orang muslimnya sendiri yang saat ini menganggap dan membiarkan Islam hanya bisa hadir di ranah individu semata. Disamping itu, mereka lebih takut melanggar hukum negara sekuler daripada melanggar hukum Allah? Subhanallaah..

Ingatlah firman Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir dalam beberapa ayat Al-Qur’an:

  • “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’am: 57)

  • “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

  • “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 49)

  • “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50).

Apalagi yang bisa membuat kita ragu untuk mengimani seluruh hukum Pencipta kita? Semoga kita senantiasa di-istiqamahkan oleh Allah menjadi bagian pejuang agama Allah sampai Islam kembali berjaya, hukum-hukumnya diterapkan di segala aspek kehidupan, kemudian kita bisa rasakan kembali Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Aamiin.Wallahu’alam bish-shawwab.*

Lia Yunita Amalia

Koordinator Komunitas Muslimah Syantik, Bandung


latestnews

View Full Version