View Full Version
Selasa, 26 Nov 2019

Sertifikasi Nikah, Perlukah?

 

Oleh:

Azrina Fauziah

Pemerhati Remaja  dan Member Komunitas Pena Langit

 

BILA biasanya kita membutuhkan sertifikasi pada barang dan jasa untuk menunjukkan kualitas barang dan keprofesionalitas jasa tersebut, kini para calon pengantin diwajibkan mengikuti sertifikasi pra nikah untuk dapat melangsungkan pernikahannya. Menurut kalian gimana guys?

Dilansir dari kompas.com, Menko PMK (Pemberdayaan Manusia Kebudayaan), Muhajir Efendy berencana meluncurkan sertifikasi nikah. Program ini menjadi prasyarat untuk melangsungkan pernikahan. Setiap calon pasangan diwajibkan untuk mengikuti kelas kursus yang di dalamnya terdapat edukasi membangun rumah tangga. Lama program kursus ini berlangsung selama 3 bulan.

Tenang-tenang, sertifikasi ini masih akan diberlakukan pada tahun 2020. Jadi teman-teman yang sudah ada niat menikah dan memiliki calon pasangan bisa segera melangsungkan pernikahan di akhir tahun ini ya.

Wacana ini sebetulnya menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa adanya sertifikasi nikah ini tentu bernilai positif bagi calon pasangan untuk mempersiapkan rumah tangga mereka kedepan. Namun ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut mempersulit calon pengantin untuk segera menikah.

Nyatanya sertifikasi nikah ini lahir bertujuan untuk menekan angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga hingga masalah stunting. Sehingga diharapkan dengan adanya sertifikasi nikah, kursus yang berlangsung selama 3 bulan ini dapat memberikan edukasi dan pencegahan.

Sekilas kursus ini memiliki maslahah bagi calon pengantin yang akan membutuhkan banyak ilmu untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Namun benarkah hal ini dapat menjadi solusi yang solutif bagi permasalahan-permasalahan pernikahan diatas yang semakin hari semakin memperhatinkan?

Pada faktanya permasalan-permasalahan pernikahan seperti perceraian, kekerasan rumah tangga, masalah stunting dan masalah ekonomi lahir daripada faktor-faktor yang beragam. Bukan sekedar ketidakpaham masyarakat saja.

Tidak dinafikan angka perceraian di Indonesia tinggi sebab permasalah ekonomi yang semakin sulit, juga pergaulan yang kini tak mengenal batasan menyebabkan pergeseran norma antar sesama hingga memunculkan masalah seks bebas, hamil dilar nikah sampai perselingkuhan.  Masalah perceraian ini juga akan berdampak besar pada kondisi anak-anak seperti tidak terurus dan mengalami stunting.

Kasus stunting sendiri juga hadir pada keluarga yang masih utuh, bukan sebab ketidaktauhan sang orang tua. Namun masalah terbesarnya ialah karena angka kemiskinan yang terjadi di keluarga. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada maret 2019 lalu merilis persentase penduduk miskin sebesar 9,41 persen dengan standar garis kemiskinan masyarakat Indonesia adalah Rp 425.250 per kapital per bulan.

Jadi bisa dikatakan keluarga yang menghasilkan pendapatan sebesar Rp 500.000 per bulan belum dikatakan miskin. Padahal seorang ayah dengan satu istri dan dua anak belum bisa memenuhi kebutuhan mereka. Jangankan kebutuhan rumah tangga apalagi dengan kebutuhan sekolah anak-anaknya yang kini sangat mahal.

Disisi lain pekerjaan di era sekarang sungguh sulit didapat. Pemerintah bahkan cenderung melepaskan pengurusaan rakyatnya dengan usaha mandiri tanpa bantuan pemerintah. Maka sejatinya wajar saja jika stunting masih menghantui keluarga mungil nan renta. Ketika kemiskinan merajalela, wanita dipaksa keluar rumah untuk memunuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja. Sekali lagi ritme permasalahan keluarga begitu berantai dan sistemik.

Bila kembali pada masa calon pengantin, masa 3 bulan kursus untuk memenuhi prasyarat menikah tentu sangat memakan waktu dan tenaga. Bila tak lulus bisa jadi ada permainan jalan pintas didalamnya.

Bila negara serius dalam menyelesaikan permasalahan pernikahan tersebut harusnya ia hadir dalam perkara-perkara yang mendalam untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan tepat. Tentunya menuntaskan sistem pendidikan keluarga dan pola ekonomi.

Islam  hadir dan menjelaskan dengan jelas terkait masalah-masalah kehidupan. Islam  sendiri telah mengatur permasalahan sosial seperti pernikahan. Islam  sangat menganjurkan untuk menyegerakan pernikahan sebab dapat menimbulkan banyak fitnah dikemudian hari bila tak segera diberikan solusi.

Dalam Islam , negara haruslah memberikan jalan yang mudah bagi calon pengantin untuk menuju pernikahan.  Bahkan hal tersebut dicontohkan oleh khalifah umar bin abdul aziz, beliau memberikan fasilitas nikah gratis dengan dana yang berasal dari baitul mal. Mengapa bisa begitu? Sebab negara Islam  memiliki perekonomian yang mencukupi dari SDA, zakat dan sebagainya. Dari sisi pemahaman membangun keluarga, negara pun telah memasukannya ke dalam kurikulum sekolah. Sejak dini anak-anak diberikan edukasi tentang pergaulan dalam Islam  hingga masalah masak-memasak memenuhi kebutuhan keluarga.

Perekonomian keluarga pun didukung oleh negara. Lelaki yang telah baligh didorong negara untuk mencari nafkah bagi kelurganya. Bukan sekadar didorong namun negara hadir dengan memberikan akses mudah dalam mendapatkan pekerjaan. Kebutuhan-kebutuhan rumah tangga murah dan tercukupi pula sebab perekonomian stabil ditopang dinar dan dirham.

Begitula Islam  hadir dengan solusinya yang menyeluruh. Ia pengatur sistem kehidupan yang juga menjamin kesejahteraan individu dan seluruh masyarakat baik muslim maupun non muslim. Waallahu’alam.*


latestnews

View Full Version