Oleh:
Chusnatul Jannah
Anggota Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
TUJUH Staf khusus milenial menjadi sorotan. Dari usia muda, prestasi, pengalaman, hingga gaji mereka menarik perhatian publik. Jokowi rupanya ingin membangun kekuatan pemerintahannya dengan wajah-wajah milenial yang juga baru terjun di pemerintahan. Jokowi berharap para milenial yang ditunjuk menjadi staf khusus itu dapat memberi masukan segar bagi Presiden. Mereka tak memiliki kewenangan mengeksekusi program kerja pemerintah. Lebih tepatnya tugas mereka adalah pembisik Presiden.
Ketujuh staf khusus milenial tersebut adalah Putri Indahsari Tanjung. Usianya paling muda diantara staf khusus lainnya. Ia adalah Founder dan CEO Creativepreneur dari Chief Business of Creative. Berikutnya, Adamas Belva Syah Devara (30 tahun), Chief Executive Officer (CEO) sekaligus Co-Founder perusahaan rintisan dan aplikasi Ruangguru. Ayu Kartika Dewi (36 tahun), staf presiden yang aktif mengampanyekan nilai toleransi dan keberagaman. Angkie Yudistia (32 tahun), satu-satunya staf presiden penyandang disabilitas. Gracia Billy Yosaphat Membrasar (31 tahun), founder Yayasan Kitong Bisa, yayasan yang fokus mengurusi pendidikan anak-anak Papua. Andi Taufan Garuda Putra (32 tahun), founder sekaligus CEO Amartha Mikro Fintek, startup yang bergerak di bidang keuangan mikro. Aminudin Ma’ruf (33 tahun), mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) periode 2014-2016.
Ketujuh staf khusus itu sukses menoreh prestasi di bidang ekonomi bisnis dan sosial. Terpilihnya staf khusus milenial memunculkan beragam opini di tengah publik. Pertama, besaran gaji. Staf khusus presiden mendapat gaji sebesar 51 juta per bulan. Besaran gaji ini dianggap terlalu besar untuk ukuran seseorang yang hanya bertugas sebagai pemberi gagasan dan masukan kepada Presiden.
Bahkan jam kerja mereka tak harus berada di kantor setiap hari. Artinya, fleksibel dan bisa dipanggil atau dibutuhkan sewaktu-waktu sesuai kehendak Presiden, tidak full time. Meski besaran gaji sesuai dengan Perpres No. 144 Tahun 2015, tetap saja dinilai berlebihan. Tak hanya itu, staf khusus juga diperbolehkan memiliki paling banyak lima asisten yang terdiri dari paling banyak dua pembantu asisten. Mereka juga tidak memiliki bidang kerja khusus. Maka wajar masyarakat mempertanyakannya. Gaji fantastis, bertugas sebagai pembisik, kerjanya pun seperti minimalis.
Kedua, inkonsistensi reformasi birokrasi. Saat pelantikan 29 Oktober lalu, Jokowi sesumbar melakukan pemangkasan pejabat eselon. Namun di sisi lain, ia justru menambah jabatan wakil menteri di lembaga kementerian dan staf khusus yang terbilang banyak. Ketidakkonsistenan ini disinyalir hanya untuk menampung para pendukungnya di pilpres 2019 lalu. Bagi-bagi kursi kekuasaan sebagai upeti atas dukungan mereka kepada Jokowi-Ma'ruf.
Ketiga, Pemborosan. Untuk menggaji pejabat, negara seolah surplus anggaran. Sangat loyal memberi besaran gaji fantastis. Sementara, anggaran untuk rakyat seringkali dibilang defisit. Seolah uang negara hanya diperuntukkan mengenyangkan para penguasa dan pejabat pemerintah. Kikir kepada rakyat, dermawan kepada para pejabat.
Dikatakan defisit bila menyangkut kepentingan rakyat. Dikatakan surplus bila menyangkut gaji para pejabat. Miris dan ironis. Alangkah eloknya bila penguasa sedikit berempati kepada rakyat yang tengah susah. Setidaknya berhemat dengan mengurangi gaji pejabat yang terkesan seperti pemborosan. Lalu berfokus untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Faktanya justru berkebalikan. Rakyat pun hanya tertegun mengelus dada melihat gaji boros penguasa.
Keempat, prestasi dan pengalaman. Diantara prestasi para staf khusus milenial adalah sukses berbisnis. Alias latar pengusaha muda yang berprestasi menjadi modal keterpilihan mereka disamping latar pendidikannya. Seolah memberi pesan tersirat bahwa pemerintahan Jokowi memang berfokus pada revolusi industri serta pembaharuan ekonomi dengan menggaet para milenial di lingkaran pemerintahan. Mereka memang sukses merintis bisnis, namun mampukah mereka menjawab keraguan dengan pengalaman politik yang minim? Negeri ini tak sekadar membutuhkan milenial sebagai pembaharu. Namun juga membutuhkan seorang yang memiliki kepekaan tinggi terhadap derita rakyat.
Sebagai pemberi gagasan dan masukan bagi Presiden, staf khusus ini harus berhati-hati. Salah memberi gagasan akan berakibat fatal. Salah mendiagnosa masalah akan berpengaruh pada masukan yang diberikan. Menjadi pembisik Presiden itu susah-susah gampang. Butuh kedalaman berpikir untuk memberi saran dan solusi kepada Presiden. Untuk staf khusus milenial, belajarlah dari bawah.
Belajarlah melihat akar masalah. Negeri ini membutuhkan solusi fundamental menyelesaikan berbagai persoalan. Solusi mendasar yang akan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hingga detik ini kapitalisme masih saja gagal mencapainya. Andaikata mereka mau melirik Islam sebagai solusi, mungkin kedukaaan negeri ini bisa berkurang bahkan hilang kezaliman.*