Oleh: Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Keagamaan)
Sebelum Islam datang memperbaiki keadaan, masyarakat Arab biasa merayakan dua hari raya Nairuz dan Makhrojan. Bergembira dan berpesta massal. Setelah Nabi mensyiarkan agama, maka hari raya diganti oleh Iedul Fitri dan Iedul Adha. Dua hari raya umat.
Shalat Iedul Fitri pertama kali dilakukan pada 2 Hijriyah, setelah kaum muslimin memenangkan pertempuran "Badar" dimana 319 pasukan Muslim mengalahkan 1000 pasukan kafir Quraisy di bulan Ramadhan.
Menunjukkan kebahagiaan dan kekuatan maka Rosulullah SAW meminta seluruh Muslim laki dan perempuan di Madinah untuk keluar menuju lapang (manakhah) untuk menunaikan shalat Sunnat Ied.
Masjid Nabawi yang berpahala besar shalat di dalamnya, tidak digunakan. Lapang lah tempat berkumpul ibadah umat. Hingga kini Iedul Fitri dan Iedul Adha disunnahkan dilaksanakan di lapangan atau di luar Masjid.
"Show of force" adalah bagian ibadah. Mobilisasi umat itu menjadi bagian penting dari syiar agama. Wanita haidh oleh Rosulullah SAW pun diperintahkan untuk ikut "turun" ke lapangan bergabung dalam jama'ah, meski untuk itu ia tak perlu melaksanakan sholat.
Hal ini menunjukkan pentingnya kebersamaan dan persaudaraan. Solidaritas dan soliditas. Kondisi letih setelah perang Badar tidak menghalangi semangat berkumpul dan unjuk kekuatan umat. Saking letih Rosul berkhutbah bersandar pada Bilal.
Tiga hal pelajaran yang diambil yaitu Pertama, kegembiraan hari raya harus diawali dengan ibadah. Shalat adalah komunikasi dengan Allah demi kebahagiaan dan kekuatan. Kedua, umat harus "keluar" berkumpul di ruang terbuka menunjukkan kebesarannya. "Show of force" dalam rangka ridlo Allah. Ketiga, berkumpul berjama'ah berdimensi perjuangan. Jihad adalah nafas "Badar" untuk kemudian "Uhud", "Khandaq" dan seterusnya. Berkelanjutan.
Kini umat Islam Indonesia akan berkumpul kembali di peristiwa 212. Bereuni di lapang Monas. Dari berbagai tempat umat akan "keluar" atas panggilan iman.
Tanpa menyamakan dengan Sholat Ied, akan tetapi mesti menarik pelajaran dari peristiwa Ied ba'dal ghazwah Badr.
Sebutan "Mujahid 212" tepat untuk memaknai dimensi berkumpul umat. Tak terpengaruh oleh hambatan apapun. Pengorbanan melekat dengan keseharian perjuangan umat Islam. Reuni 212 adalah unjuk kebersamaan dalam menggalang kekuatan.
Saatnya umat gembira berduyun duyun berangkat ke lapang solidaritas Monas. Bersilaturahmi walau tak saling mengenal. Tak perlu komando figur yang utama adalah panggilan iman dan jihad. Ayo datanglah walau kehadiran diri kita mungkin tak berpanggung.
Tapi satu umat berguna untuk menambah kekuatan. Cukup hadir ikuti agenda. Itu bernilai asal niat mencari ridlo Allah. Keluarlah dari rumah masing masing untuk beribadah dan berjuang.
Biarlah Allah yang memberi kemenangan. Kita hanya melangkah di jalan ikhtiar. Kedzaliman mesti dilawan dengan segala upaya. Mereka manusia kita juga manusia. Mereka berlindung pada kekuasaan dan kekayaan, kita berlindung pada Allah. Jaringan kuat kedzaliman hanyalah sarang laba laba. Seperti yang kuat dan hebat akan tetapi sebenarnya lemah.
"Wa inna awhanal buyuuti labaitul ankabuut"--Dan sesungguhnya selemah-lemahnya rumah adalah (jaringan) sarang laba-laba. QS Al Ankabuut 41.
Selamat bergerak menuju reuni, silaturahmi, dan konsolidasi. Jangan banyak alasan apalagi memaki atau mengejek berkumpulnya umat. Jadilah komunitas hamba Allah dan pengikut Muhammad, bukan pengikut Abu Lahab atau Abu Jahal. Apalagi Abu Janda. Nashrun minallah. Allahu Akbar.