Oleh: Mia Annisa (Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)
Di bawah tampuk kepemimpinan baru, dagangan radikalisme menjadi semacam dagangan politik. Olah-mengolah isu radikalisme agenda berkala rupanya. Yang hadirnya saat ada momentum.
Saat menjelang pelantikan presiden, penyusunan kabinet, tiba-tiba santer lagi kita disajikan berita ada gerakan radikalisme maupun terorisme.
Belum ada tanda-tanda pemerintah bakal menyudahi dagangan yang mereka jual. Bahkan isu radikalisme semakin liar membangun opini Islamphobia jika radikalisme adalah produk dari sebuah agama tertentu. Radikalisme adalah ancaman terbesar bangsa dibanding mandeknya prestasi kerja para penguasa.
Disinyalir pemerintah sengaja melakukan pembiaran terhadap gonjang-ganjing radikalisme. Tidak salah jika penilaian publik terhadap pemerintah merekalah aktor yang paling gencar memerangi radikalisme melalui para pesuruh-pesuruhnya untuk memecah belah umat.
Tak hanya pembiaran demi melanggengkan legitimasinya pemerintah juga mewadahi lewat sarana-sarana situs aduan yang dicuragai "terpapar" dan pendukung radikalisme. Sikap sporadif pemerintah melahirkan kecurigaan antar sesama warga negaranya pada akhirnya menjatuhkan warga saling memata-matai satu sama lain.
Sikap memata-matai tentu berbahaya apalagi hal ini dilakukan kepada saudara muslimnya sendiri. Memata-matai menurut istilah dinamakan dengan spionase atau mengorek-orek berita. Memata-matai adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menyelidikinya. Sikap memata-matai ini termasuk sikap yang dilarang oleh Allah SWT
Dalam kamus literatur bahasa Arab, karangan Imam Ibnu Manzhur, tajassus berarti “bahatsa ‘anhu wa fahasha” yaitu mencari berita atau menyelidikinya. (Lisan al-‘Arab, jilid 3 halaman 147)
Sementara dalam kamus Al-Bishri, tajassus berasal dari kata “jassa-yajussu-jassan” kemudian berimbuhan huruf ta di awal kalimat dan di-tasydid huruf sin-nya maka menjadi kata “tajassasa-yatajassasu-tajassusan” yang berarti menyelidiki atau memata-matai. (Kamus al-Bishri, halaman 74).
Apa yang dilakukan penguasa untuk memata-matai antar sesama warganya jelas menyalahi Islam. Sebab Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, untuk menjauhi kebanyakan berprasangka yang mengantarkan pelakunya pada dosa untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain. (QS. Al-Hujurat:12). Entah itu dengan menguntit setiap aktivitas yang orang lain lakukan ataukah mengulik postingan-postingannya di sosial media demi membenarkan kecurigaanya tersebut.
Memata-matai atau yang dikenal oleh para kalangan ulama dengan tajassus. Konotasi ini seringkali disematkan pada hal-hal buruk, tercela, digunakan untuk suatu kejahatan.
Sayangnya, memata-matai (tajassus) dalam hal ini bukan dalam konteks negara menghadapi musuh di medan perang melainkan tajassus dilakukan untuk melibas, menakut-nakuti orang-orang shalih, para ulama dan pengemban dakwah agar berhenti memperjuangkan dakwah Islam. Maka sebuah keharaman orang Islam yang memata-matai umat Islam sendiri.
Pelaku yang melakukan tajassus kepada sesama muslim maka ia wajib dihukum takzir. Hal ini berdasar pada kisah Hathib bin Balta'ah yang mengirimkan pesan kepada kaum Musyrik Makkah lewat seorang kurir wanita. Kejadian ini terbongkar berkat informasi dari Rasulullah SAW.
Rasulullah menolak hukuman mati terhadap Hathib yang diusulkan oleh Umar bin Khattab RA dan menyerahkan jenis hukuman kepada kaum Muslimin.
Sementara pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani lebih keras lagi. Menurutnya, seorang Muslim yang memata-matai umat Islam untuk dilaporkan kepada musuh bisa dijatuhi hukuman mati. Ibnu Hajar juga berdalil pada hadis soal Hathib. Wallahu`alam.