DINILAI layak menjadi contoh kota toleransi, tahun ini Jember menjadi tuan rumah festival HAM. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsa mengungkapkan alasan memilih Jember sebagai tuan rumah adalah tak adanya gesekan sosial di masyarakat, serta ada beberapa desa yang rumah ibadahnya bersebelahan namun saling bantu.
Beka menambahkan kondisi tersebut bisa menjadi contoh bagaimana toleransi di Indonesia masih ada. Di sisi lain Bupati Jember, dr Hj Faida, MMR menjelaskan bahwa terpilihnya Jember sebagai tuan rumah adalah karena kesungguhan Pemdanya dalam mentrasformasikan prinsip-prinsip HAM ke dalam setiap pembuatan kebijakan di daerah, serta banyaknya program berbasis HAM dan membangun daerah berbasis HAM seperti hak ibu dan program-program yang berbasis gender (19/11/19).
Tentu menjadi sebuah kebanggaan bagi Jember atas capaian tersebut, yang sekaligus mengukuhkan betapa Jember sangat menjunjung tinggi HAM dan menghormati toleransi. Indah memang ketika setiap individu diberikan hak untuk menentukan kemauannya sendiri, serta satu sama lain dapat saling toleran. Namun perlu pula diwaspadai tentang pemaknaan HAM dan toleransi itu sendiri. Sebab salah dalam memaknainya akan sangat berbahaya.
Jika melihat fakta hari ini, HAM seringkali menjadi alat bagi mereka pemuja kebebasan untuk membenarkan setiap hal yang dilakukan. Mereka beranggapan bahwa setiap individu memiliki hak atas dirinya, sehingga orang lain tak berhak untuk turut campur, terlepas benar atau salah atas perbuatan yang dilakukan. Dengan kata lain menghormati apapun yang dilakukan oleh individu tersebut adalah toleransi yang sesungguhnya. Lebih dari itu, turut membaur dalam peribadatan agama tertentu kini dianggap biasa, sementara yang berseberangan justru disebut intoleran. Akhirnya makna toleransi pun menjadi kabur sebab tak jelas batasannya.
Kondisi yang demikian adalah buah penerapan sistem sekuler. Sehingga mengakibatkan makna HAM yang tak sejalan lagi dengan syari’at serta toleransi yang korbankan aqidah. Padahal baik HAM maupun toleransi sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Islam setidaknya lebih dari 14 abad yang lalu. Dimana keduanya memiliki batasan yang jelas.
Memberikan hak pada setiap warga negara tak berarti memberikan kebebasan penuh. Dalam hal beragama misal, Islam tak memaksa untuk individu harus beragama tertentu. Namun tatkala telah memilih suatu agama maka ia harus bersedia diatur. Aturan inilah yang membuat individu tersebut tak lagi bisa bebas. Sebab Ia akan terikat dengan aturan agama. Terkait hal ini, dalam beragama pun mengenal sikap toleransi. Namun toleransi dalam Islam ada batasnya. Tak segala hal bisa ditoleransi, Jika seorang muslim melakukan perbuatan yang melanggar aturan Islam, misal melakukan perzinahan, maka tak ada toleransi untuknya.
Dengan demikian bukan hari ini tak ada lagi HAM atau toleransi yang mulai hilang di tengah masyarakat kita yang mayoritas muslim. Namun pemaknaan itu sendiri yang tak didefinisikan secara khusus sehingga tak jelas batasannya. *
Sri Wahyuni, S.Pd
Banyuwangi, Jawa Timur