Oleh:
Ulfiatul Khomariah
Founder Ideo Media, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
LUAR BIASA.Tepat 2 Desember 2019, Monas kembali dibanjiri oleh lautan manusia. Mereka adalah para manusia yang merindukan tegaknya keadilan atas dasar keimanan. Sama halnya seperti dua tahun yang lalu, Desember adalah momentum persatuan umat Islam. Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif menyebutkan bahwa ada kemungkinan aksi 212 tahun ini dihadiri oleh jutaan orang.
Tentu jutaan manusia yang hadir sebagai peserta 212 ini bergerak bukan karena adanya fulus yang mereka dapatkan apabila mereka hadir. Akan tetapi ghirah (semangat) keislaman, keimanan, dan ketaqwaan-lah yang menggerakkan langkah kaki mereka.Hal ini terlihat dari berbagai kisah perjuangan peserta dari berbagai penjuru Nusantara.
Namun, meskipun aksi 212 ini sudah terbukti berjalan dengan damai dan penuh khidmat di tahun sebelumnya. Nyatanya masih ada saja pihak yang nyinyir dan menganggap sudah tak perlu lagi ada acara aksi. Tak hanya nyinyir, ternyata mereka juga membuat gerakan petisi online menolak acara ini bahkan melakukan penjegalan agar acara aksi gagal. Tetapi Alhamdulillah, meskipun berbagai penjegalan dilakukan, aksi reuni 212 tahun ini tetap berjalan lancar dan damai.
Mengapa Harus Ada Aksi?
Tentu masih lekat dalam ingatan mengapa aksi 212 ini dilakukan. Hal ini berawal dari sebuah penistaan terhadap agama Islam yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, 2 Desember 2016 silam. Saat itu umat Islam melakukan aksi menuntut agar Ahok segera diadili lantaran melakukan penistaan terhadap ajaran Islam. Hingga akhirnya, Ahok pun diadili dan dijebloskan ke dalam jeruji besi.
Namun nyatanya, hukum di negeri ini tak mampu menimbulkan efek jera. Berbagai penistaan tetap saja dilakukan. Dan kali ini, masalah penistaan terhadap agama Islam kembali terulang. Penistaan terhadap agama kini diperankan oleh Sukmawati Soekarnoputri setelah sebelumnya menuai tuntutan aksi karena syair penistaannya yang dianggap seni. Dengan syair santuynya, bu Suk membandingkan antara suara adzan dengan kidung Pancasila. Dan saat ini ia kembali berkoar membandingkan Nabi Muhammad dengan Soekarno.
Sebagai umat Muslim yang masih memiliki keimanan, tentu akan mendidih darah kita apabila ajaran Islam dinistakan. Inilah alasannya mengapa umat Islam harus bersatu dan bergerak menuntut keadilan. Sebab jika dibiarkan, mereka akan terus semena-mena mengkerdilkan ajaran Islam. Maka aksi 212 adalah bukti kepedulian umat Muslim terhadap agamanya, dan patut dikatakan bahwa aksi 212 kali ini adalah aksi bela Islam.
Mengapa aksi 212 ini harus dipertahankan? Menurut Farid, penting untuk mempertahankan dua ciri khas utama gelaran aksi damai setiap 2 Desember ini.“Reuni 212 dalam pandangan saya penting, ya. Pertama mengingat bahwa Reuni 212 ini semacam gerakan mainstream baru di tengah umat Islam dengan ciri khas yang seharusnya tetap dipertahankan,” ujar Farid saat wawancara live dengan Radio Dakta 107.0 MHz FM di Bekasi, Rabu (27/11/2019) pagi, dilansir mediaumat.news.
Ciri khasnya itu, ujarnya, adalah pembelaan terhadap Alquran, pembelaan terhadap Islam. Ini yang dibutuhkan umat Islam di Indonesia sekarang ini ketika serangan terhadap ajaran Islam termasuk kepada ulama itu tampak semakin menguat.“Jadi Reuni 212 penting untuk mempertahankan bahwa 212 itu pembelaan terhadap Islam, pembelaan terhadap Alquran. Dan sekarang pembelaan terhadap Rasulullah saw. ketika muncul kasus dugaan penghinaan yang dilakukan oleh Sukmawati,” bebernya.
Kedua, lanjut Farid, Reuni 212 ini merupakan mainstream baru di tengah umat Islam yang lintas ormas, bahkan bisa disebut lintas parpol hingga lintas mazhab yang menyatukan berbagai kelompok Islam.
Kedua ciri khas ini menjadi sangat penting (khususnya) di Indonesia, di mana saat ini rezim yang berkuasa sedang kencang-kencangnya melakukan politik adu domba dan politik belah bambu antarormas Islam. Dan bukankah umat muslim itu adalah satu? Maka marilah bersatu dalam menegakkan kebenaran dan hidup mulia dengan naungan Islam. Wallahu a’lam bish-shawwab.*