Oleh:
Ifa Mufida
Pemerhati Kebijakan Publik
DEFISIT dalam tubuh BPJS selalu dianggap menjadi permasalahan utama. Hal ini pula yang menjadi alasan di awal tahun depan, dinaikkanlah iuran BPJS dua kali lipat. Namun hal ini dirasa tak cukup untuk menambal luka defisit BPJS. Maka, pemerintah dinilai perlu melakukan audit medis terkait rekomendasi rujukan dokter kepada pasien guna menurunkan defisit BPJS Kesehatan. Diduga, ada rujukan dan tindakan yang berlebih dari dokter yang menyebabkan BPJS tekor berkepanjangan.
Sebagaimana dilansir oleh katadata.co.id bahwa menteri kesehatan Terawan Agus Putranto sebelumnya menduga penyebab defisit BPJS Kesehatan adalah tindakan berlebihan dokter kepada pasien. Hal ini menyebabkan klaim biaya rumah sakit pun membengkak. Menurutnya, contoh layanan berlebihan itu adalah pemasangan ring untuk penderita sakit jantung. Pihak rumah sakit sering kali mengharuskan pasien melakukan operasi ini. Padahal, bisa jadi hal itu tidak dibutuhkan dan masih dapat ditangani dengan pencegahan atau pemberian obat.
Terawan menyebut tagihan penanganan pasien sakit jantung mencapai Rp 10,5 triliun. “Kalau bisa turun 50% itu sudah membuat kita bahagia,” ucapnya. Penanganan persalinan juga ia katakan terlihat berlebihan dengan jumlah tagihan operasi cesar mencapai Rp 5 triliun. Rasio kelahiran bayi dengan cesar di Indonesia saat ini mencapai 45%. “Ini menunjukkan kita tidak dalam kondisi baik karena ternyata tidak menurunkan angka kematian ibu dan bayi secara nasional. Percuma duit banyak dikeluarkan,” kata Terawan.
Masyarakat tentu juga berharap angka prevalensi semua penyakit bisa ditekan. Semua ingin sehat. Tak ada satu pun di masyarakat yang menginginkan sakit. Meski tiap bulan sebagian besar rakyat harus membayar dana yang tak sedikit untuk jaminan kesehatan, tapi pasti mereka berharap selalu diberikan kesehatan. Meski mereka harus banting tulang untuk bisa membayarnya karena khawatir dicabut hak pengurusan publiknya, tetap saja mereka tak berkeinginan mau menggunakan uang mereka di BPJS untuk berobat, Inilah fakta masyarakat yang hidup di dalam sistem asuransi kesehatan berkedok "jaminan kesehatan nasional".
Lalu bagaimana dengan pihak tenaga medis? Dokter di era BPJS dihargai begitu murah. Untuk puskesmas kapitasi yang diberikan adalah Rp. 3000/pasien/bulan. Sementara untuk klinik mandiri kapitasi yang diberikan adalah Rp 8.000-10.000/pasien/bulan. Puskesmas dihargai lebih rendah karena dokter dan petugas yang bekerja di puskesmas telah digaji oleh negara. Sedangkan kapitasi untuk dokter gigi, lebih memprihatinkan lagi, 2000 rupiah.
Sekedar ilustrasi, bila dokter FKTP dengan kapitasi Rp 10.000 dan jumlah peserta 1000, maka dari BPJS akan menerima dana kapitasi Rp10.000.000 atau 10 juta rupiah. Dana tersebut adalah "all in", termasuk di dalamnya jasa pelayanan medis, obat-obatan, pemeriksaan penunjang bila di perlukan. Sedang era kapitalisme saat ini, maka dikenal prinsip ekonomi: mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya untuk mendapatkan sisa se besar-besarnya.
Bagaimana caranya? Maka fasilitas pertama dituntut untuk memberi obat ke pasien sesedikit mungkin dengan harga obat se-murah mungkin. Tidak melakukan pemeriksaan penunjang yang seharusnya sudah harus dilakukan karena sangat mempengaruhi "sisa dana kapitasi". Kemudian, merujuk pasien ke PPK tingkat lanjutan, walaupun sebenarnya masih bisa di tangani di PPK 1. Inilah fakta yang banyak terjadi di faskes tingkat pertama di era BPJS ini.
Lalu untuk pelayanan spesialisasi bagaimana? Kondisi fraud (kecurangan) mungkin memang terjadi. Terlebih bagi mereka yang memang memiliki pandangan kapitalisme sekuler dalam hidupnya. Bagi mereka yang tidak mengindahkan agama sebagai pedoman dalam setiap perbuatan. Hingga akhirnya dalam mengambil konsep materialistik, yakni berbagai upaya dilakukan untuk mendapat materi sebanyak-banyaknya.
Secara fakta, memang klaim jasa untuk spesialis di era BPJS memang juga minimalis. Belum lagi prosedural dan administrasi yang ribet dan berbelit. Bahkan cukup sering kita mendengar rumah sakit yang gak dibayar klaimnya beberapa bulan oleh BPJS. Penunggakan pencairan ini menyebabkan beberapa RS gulung tikar. Sempat pula kemaren ada peninjauan ulang kriteria RS. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah yang bisa diklaimkan kepada BPJS. Sempat gaduh, karena RS harus mengembalikan kelebihan klaim sebelumnya.
Sebenarnya, ini adalah sepotong fakta kondisi carut marutnya pengaturan pelayanan kesehatan di bawah BPJS. Sistem jaminan kesehatan di bawah BPJS bukan hanya membuat rakyat sengsara, tetapi juga tenaga kesehatan termasuk dokter harus menelan buah simalakama. Di sisi lain, mereka dituntut untuk memberikan pengobatan maksimal demi kesembuhan pasien. Namun, pada saat yang sama mereka juga dituntut untuk memberikan pelayanan minimalis sesuai dengan aturan BPJS. Obat minimalis, pemberian rujukan penunjang medis dibatasi, waktu perawatan di RS yang sempit, serta tindakan medis yang terus dikebiri. Hampir setiap tahun, ada saja tindakan medis yang akhirnya dikeluarkan dari list yang bisa diklaimkan.
Sedang di tubuh komunitas tenaga kesehatan sendiri terutama dokter bagaimana? Fakta ada ketimpangan yang luar biasa. Ada dokter dengan jam kerja yang sama, hanya menerima gaji per bulan di bawah lima juta namun ada pula yang bisa mengantongi hingga ratusan juta. Bagaimana bisa? Memang di dalam profesi ada dokter yang sudah spesialisasi bahkan konsultan sub spesialis yang memang jasa setiap tindakan berbeda dengan hanya sekedar dokter umum. Hal yang lumrah. Namun memang bisa jadi ada fraud yang terjadi demi mendapat gaji tambahan.
Yang perlu dipertanyakan, mengapa bisa terjadi fraud? Hal tersebut terjadi tidak lain karena sistem yang ada memberikan jalan untuk "berbuat" atau memang memberi celah "kesempatan". Sebagai mana korupsi yang tak pernah bisa mendapat solusi, karena sistem yang ada saat ini memang justru sengaja menumbuh suburkan perilaku korupsi. Contoh saja sistem politik demokrasi yang mahal sehingga untuk bisa berpartisipasi butuh dana yang besar. Maka segala cara dilakukan untuk bisa masuk di dunia perpolitikan.
Maka kalaupun ada fraud di dalam sistem pelayanan yang diberikan BPJS ini maka kita tidak bisa mengembalikan kesalahan tersebut hanya sebatas kesalahan individu. Tetapi haruslah berfikir mengapa bisa muncul fraud padahal ini adalah berkenaan dengan pelayanan jasa kesehatan yang harus nya diberikan secara profesional?
Jawabnya adalah karena ruh yang menghidupi di segala lini kehidupan saat ini adalah berasas kepitalisme-sekuler. Hal ini lah yang memunculkan pemikiran materialistik yang berpengaruh terhadap perilaku. Materialistik menjadikan segala sesuatu dinilai dengan harga dan uang. Hingga tujuan hidup hanya disandarkan hanya untuk mendapatkan materi agar bisa hidup bahagia di dunia.
Di sisi lain memang layanan kesehatan saat ini memang sengaja dikomersilkan. BPJS adalah badan yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas tersebut. Sebagai konsekuensi keterlibatan Indonesia di dalam pasar bebas dunia (WTO). Inilah gelombang besar neo-liberal yang telah memberangus kesejahteraan umat karena setiap lini kehidupan wajib dikomersilkan. Inilah buah kapitalisme yang rusak dan terus mendatangkan kerusakan. Sedang BPJS sejak lahir sudah cacat bawaan tak layak untuk dipertahankan.
Seharusnya Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim mengambil aturan Islam. Sebab, Islam sebagai rahmatan lil 'Aalamiin terbukti telah memberikan pelayanan yang optimal untuk umat. Kesehatan dalam Islam adalah termasuk kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara.
Negara dengan sistem pengaturan ekonominya berdasar Islam akan mampu mengadakan harta di Baitul mal untuk memberikan pelayanan terbaik untuk ummat. Sebab, di dalam Islam, sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh dikelola oleh swasta. Namun negara sendiri yang wajib turun tangan mengelola dan mendistribusikan kepada masyarakat. Demikianlah, Islam jika diterapkan secara menyeluruh akan bisa memberikan solusi dan kesejahteraan bagi seluruh alam. Wallahu a'lam bi showab.*