Oleh:
Ifa Mufida, Pemerhati Kebijakan Publik
PERGERAKAN LGBT terus menuai polemik.Termasuk di Negeri Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah muslim. Terakhir mencuat kontroversi boleh tidaknya kaum LGBT mengikuti tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), keduanya menuangkan syarat pelamar tak memiliki “kelainan orientasi seks dan perilaku (transgender).
Kejagung sendiri memiliki landasan hukum melarang CPNS dari kalangan LGBT. Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Mukri, bahwa ada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI 23/2019 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS 2019, bahwa instansi diperbolehkan menambah syarat sesuai karakteristik jabatan.
Akan tetapi, sikap tegas ini justru ditentang oleh beberapa partai, bahkan pimpinan partai Islam ikut berkomentar. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani berkomentar bahwa larangan LGBT ikuti CPNS merupakan tindakan diskriminatif. Begitu juga cuitan akun twitter Gerindra ‘@Gerindra’ yang tak setuju dengan penolakan terhadap CPNS dari kalangan LGBT. Wakil Ketua Umum Gerindra, Sufmi Dasco, langsung menyatakan bahwa semua pihak mempunyai hak yang sama di depan hukum(vivanews.com, 29/11/2019).
Aktifis kemanusiaan pun ikut bersuara.Sebagaimana direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan menilai terdapat kesalahan berpikir yang mendalam terkait persyaratan rekrutmen CPNS tersebut. Menurutnya, terdapat kebencian serta ketakutan luar biasa terhadap homoseksualitas atau homofobia. Ricky bahkan menganggap keberagaman seksualitas merupakan sesuatu yang biasa saja dan wajar ada dalam kehidupan manusia.
Ketua Arus Pelangi, Ryan Korbarri, juga ikut berkomentar. Dia menilai bahwa bentuk pengecualian terhadap kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda ataupun transgender dalam syarat pendaftaran CPNS adalah bentuk diskriminasi terhadap LGBT dalam konteks mereka sebagai warga negara. (tirto.id, 14/11/2019).
Perkembangan LGBT di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Begitu juga kerusakan yang diakibatkan sangat dibutuhkan adanya tindak tegas negara. Salah satu contoh saja, bahwa komunitas gay saat ini menjadi penyumbang nomer wahid prevalensi HIV AIDS di Indonesia. Mereka juga bukan sekedar permasalahan pribadi, tetapi sudah menjadi gerakan global yang terus mendapat kucuran dana. Telah nyata, keberadaannya kini sudah sampai pada kondisi mengancam generasi. Namun entah mengapa sampai saat ini justru seolah difasilitasi segala pergerakannya atas nama hak asasi.
Takbisadipungkiri,dalammembentukarusutamaopinidukunganterhadapLGBT,peran media sangatlah penting. Pada kasus ini, konglomerasimedialiberaljugaturutmengecamkeputusanini. Mereka menganggapregulasiyangadatersebutdiskriminatif,tidakbertransformasidenganperubahantipologimasyarakat terkini.Framing pun terus dilakukan untuk membentuk opini umum agar masyarakat akhirnya diarahkan kepada perspektifmereka, mendukung LGBT.
Pergerakan LGBT memang mendapatkan banyak dukungan dari organisasi internasional.Ditemukan pada laporan64 halaman “Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia, yang merupakan hasil dialog dan dokumentasi Komunitas LGBT Nasional Indonesia pada tanggal 13-14 Juni 2013 di Bali sebagai bagian dari prakarsa “Being LGBT in Asia” oleh UNDP dan USAID. Dalam data tersebut diungkap bahwa sebagian besar organisasi LGBT mendapatkan pendanaan dari lembaga donor internasional seperti USAID. Pendanaan juga diperoleh dari AusAID, UNAIDS, dan UNFPA.
Ada sejumlah negara Eropa yang pernah mendanai program jangka pendek, terutama dalam kaitan dengan HAM LGBT. Pendanaan paling luas dan sistematis disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda, kadang-kadang bersumber dari pemerintah negeri Belanda. Kemudian Ford Foundation bergabung dengan Hivos dalam menyediakan sumber pendanaan bagi organisasi-organisasi LGBT.Belum lagi hampir semua media online mendukung gerakan ini semisal Facebook, Instagram, atau Facebook.
Di Indonesia, kaum pelangi pernah mendapatkan penghargaan Tasrif Award 2016 oleh Aliansi Jurnalis Independen. Ironisnya, penghargaan tersebut langsung diberikan oleh Menteri Agama pada saat itu, Lukman Hakim Saifuddin.Selang beberapa tahun kemudian, muncul pernyataan Lukman Hakim Saifuddin meminta masyarakat untuk tidak menghakimi seseorang yang berorientasi seksual LGBT dan mendampingi pelakunya secara empati agar tak lagi melakukannya (suara.com, 17/10/2018).
Kalau kita amati bagaimana pergerakan LGBT yang begitu mudahnya berkembang nampak bahwa proses tata kelola negara sampai sekarang ini lebih banyak ditentukan oleh peran-peran “private sector”, kelompok atau kekuatan bisnis. Wajar jika mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas mengatakan bahwa Indonesia menerapkan sistem korporatokrasi.
Maka tak heran, jika ada dukungan kepada LGBT yang sangat besar berasal dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan bisnis berbalut slogan kesetaraan dan hak asasi manusia (HAM). Mereka tak mau berfikir akan kerusakan generasi yang akan terjadi akibat perilaku yang merusak ini. Namun, kerusakan yang nyata tersebut justru dibiarkan oleh negara. Penguasa negeri ini seolah memberikan jalan bagi liberalisasi seksual untuk terus merusak kehidupan bangsa. Inilah kondisi yang terjadi karena agama dibuang dari kehidupan sehingga moralitas diabaikan.
Maka, akar persoalan utama adanya ketimpangan dalam memandang sesuatu apakah Haq atau bathil adalah akibat kapitalisme-sekuler. Sistem ini tidak pernah memperhatikan halal atau haram, tapi yang ditonjolkan adalah asas manfaat. Akibatnya, hukum ada dan dibuat sesuai dengan keinginan dan kepentingan mereka. Hukum bisa diperjualbelikan atas nama uang. Sesuatu yang salah dianggap benar sedang sesuatu yang benar terus diframing sebagai suatu kesalahan dan ancaman. Contoh nyata adalah islamophobia yang terus digencarkan pemerintah atas nama deradikalisasi.
Demokrasi juga memberikan ruang bagi kebebasan berperilaku, kebebasan seksual, lesbianisme, homoseksual dan sebagainya atas nama hak asasi manusia. Kebebasan perilaku itu menyebabkan kehancuran rumah tangga, merebaknya penyakit menular seksualtermasuk HIV/AIDS yang mematikan, kemudian menyebabkanketidakjelasan nasab,hingga ancaman kerusakan generasi yang luar biasa. Hal ini akan menjadi ancaman manusia di seluruh dunia.
Dengan adanya kerusakan yang nyata tersebut, seharusnya menjadikan kita tersadarkan untuk kembali kepada aturan Allah SWT, sang penguasa alam. Allah Swt. telah mengingatkan kita dengan firman-Nya,“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)(TQS: Ar Ruum: 41).
Berbeda dengan kapitalisme-sekuker,Islamjustru menuntun negara menjadi penjaga moralitas. Mewajibkan aturan Islam diterapkan secara menyeluruh sebagai pijakan/ukuran baik-buruk yang harus diadopsi oleh semua pihak.LGBT jelas perbuatan yang rusak serta menimbulkan kerusakan. Perbuatan homoseksual juga dijelaskan sebagai perbuatan yang wajib dihindari karena dikhawatirkan akan mendatangkan azab Allah SWT.
Tidakkah cukup kisah azab yang diturunkan Allah SWT kepada kaum nabi Luth menjadi pelajaran? Tidakkah cukup berbagai kisah umat sesudahnya yang dihancurkan oleh Allah SWT akibat perbuatan homoseks tersebut membuat kita bertaubat?Maka sudah seharusnya kita memutus penyebaran perilaku LGBT dengan dakwah agar mereka kembali kepada Islam. Lebih dari itu, gerakan global dari LGBT hanya bisa dihadang dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai negara. Wallahu a'lam bi showab.*