Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Kondisi perpolitikan kini seperti kehilangan arah. Presiden dengan status dipilih langsung oleh rakyat seperti mendapat mandat besar untuk menentukan arah politik bangsa.
Ia bebas memilih pembantunya baik Menteri maupun Wantimpres hingga sejumlah Asisten atau Staf Khusus. Merancang program pemerintahan, memilih kerjasama ekonomi dengan negara yang diinginkannya termasuk menyediakan lahan milik negara.
Sementara kontrol DPR menjadi terbatas karena DPR adalah representasi Partai Politik yang sebagian besarnya adalah pendukung Presiden itu sendiri. Presiden menjadi lembaga (ter)kuat sebagai konsekuensi dari hasil empat kali amandemen UUD 1945.
Amandemen ketiga dan keempat telah memerosotkan kedudukan MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi biasa. Padahal MPR lah yang semestinya membuat arah berbangsa dan bernegara dengan penetapan GBHN nya. MPR yang menjadi lembaga dimana Presiden bertanggungjawab karena MPR adalah "penjelmaan dari kedaulatan rakyat" (vertrattungorgan des willens des staatvolkes).
Kini secara tidak langsung kedaulatan rakyat telah bergeser menjadi kedaulatan Presiden meski "diawasi" oleh DPR.
Penyimpangan menjadi terbuka ketika Presiden dan DPR secara institusional adalah "itu itu juga". Suara anggota bisa dimatikan oleh kepentingan Partai melalui Fraksi. Amandemen telah menempatkan Konstitusi kehilangan kesakralan dan kewibawaan.
MPR yang diisi oleh DPR dan DPD hasil Pemilu dapat tercemar oleh politik pragmatik yang bernuansa kapitalistik. Presiden menjadi "neben" dengan MPR. Ini adalah kesalahan fatal karena amandemen telah mengubah visi atau pandangan "the founding fathers" dalam berbangsa dan bernegara. Nilai dan norma fundamental UUD 1945 telah dirusak dan dicabik cabik.
Di samping Preambule yang tidak bisa diubah semestinya kedudukan MPR itu pun tidak bisa diubah. Ini disebabkan sistem pemerintahan asasi yang dikehendaki sejak awal adalah asas kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan/perwakilan. Penjelmaannya ada pada MPR. MPR adalah lembaga tertinggi negara (die gesamte Staatgewalt liegt allein bei der Majelis).
Isi amandemen pertama dan kedua serta ketiga dan keempat selain berkaitan dengan MPR, kecuali perubahan prinsip Pasal 6 ayat (1) yang secara sembrono mengubah "orang Indonesia asli", merupakan penambahan pasal atau ayat ayat. Itu bukan "fundamental norm" melainkan "instrumental norm" yang penempatannya bisa di dalam Ketetapan MPR atau UU organik maupun perundang undangan lain.
Maknanya adalah kita keliru melakukan amandemen atas UUD 1945 hingga batang tubuh menjadi berantakan seperti sekarang ini. Kita harus kembali kepada UUD 1945 yang otentik. Penyempurnaan bukan dengan mengubah. Penuangan bisa ditempat perundangan lain apakah Ketetapan MPR atau Undang Undang. MPR harus kembali menjadi lembaga tertinggi negara dan Presiden "untergeordnet" pada MPR. Memosisikan "neben" adalah kekeliruan dan penyimpangan hukum.
Janganlah terus menerus melakukan amandemen yang menyebabkan bias hukum antara apakah ini amandemen atau pembentukan UUD baru ? Demikian juga dengan seringnya dilakukan amandemen justru menghancurkan semangat dan visi ideal berbangsa dan bernegara dari para pendiri negara. Kita mengkhianati.
Ayo kita kembali ke UUD 1945. "Political renewable" adalah dengan purifikasi memurnikan konstitusi dan dinamisasi membawa Konstitusi murni ke dalam dinamika kehidupan politik kini dan yang akan datang. UUD 1945 membuka jalan untuk itu. Majulah bersama UUD 1945. Mari bung rebut kembali.