Oleh:
Dahlia Kumalasari
Pendidik di Surabaya, Jawa Timur
BANJIR merendam wilayah Jabodetabek. Ini menjadi kado pahit diawal tahun 2020. Hujan deras yang terjadi sejak Selasa malam (31/12/2019) membuat wilayah Jabodetabek terendam air di ratusan titik. Banjir tahun 2020 ini merupakan banjir paling parah. Kapusdatinkom Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan, setidaknya ada 169 titik banjir di Jabodetabek.
Dikutip dari Republika.co.id-Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, banjir di DKI Jakarta tidak hanya dipengaruhi curah hujan di wilayahnya saja, tetapi juga curah hujan di wilayah sekitarnya. Faktor infrastruktur, wilayah, topografi, dan drainase juga turut mempengaruhi suatu wilayah berpotensi banjir atau tidak. (Rabu, 1/1)
Masyarakat yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya pasti sudah sangat familiar dengan banjir. Bahkan fakta Jakarta kebanjiran tidak hanya terjadi di masa pemimpin daerah yang sekarang saja. Sekitar tahun 1970 almarhum Benyamin Sueb menyanyikan lagu yang berjudul ‘Kompor Meleduk’. Diantara liriknya yaitu : Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk. Ya, ternyata masalah banjir sudah sangat lama menjadi langganan warga di Jakarta sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan wilayah Jakarta dan sekitarnya selalu menjadi langganan banjir?. Apakah karena kebiasaan masyarakat yang suka buang sampah sembarangan?. Ataukah karena derasnya curah air hujan?. Atau Jakarta kebanjiran karena kiriman dari wilayah Bogor?.
Ada banyak pandangan terkait penyebab Jakarta kebanjiran. Namun, satu hal yang harus kita sepakati bersama adalah, fakta bahwa banjir di Jakarta tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja (insidental). Ini berarti ada yang kurang tepat secara sistemik dalam pengaturan tata kelola kota.
Harus diakui bahwa tata kelola kota dalam sistem kapitalisme saat ini secara terang benderang mengabaikan amdal. Bahkan pada bulan November 2019, muncul pernyataan dari pemimpin negeri ini yang sangat disayangkan oleh banyak pihak. Dimana pemerintah ingin menghapus aturan izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Ketua Desk Politik Walhi Khalisa Khalid mengatakan : “Pada saat negara lain gencar memproteksi wilayah dari ancaman lingkungan, Indonesia justru ingin menderegulasi kebijakan IMB dan amdal.”Khalisa mengatakan, wacana penghapusan kebijakan tersebut dapat mengarah pada penghancuran lingkungan.
Benar, bahwa sistem kapitalisme memberi ruang yang luas bagi penguasa dan pemilik modal (pengusaha) untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Maka tak heran saat profit oriented menjadi tujuan utama dari pemangku kebijakan,akan muncul banyak aturan yang memberikan kemudahan dalam pembangunan industri, perkantoran, dan bisnis menggiurkan lainnya semacam villa dan hotel mewah. Dan maraknya pembangunan tidak diiringi dengan efek kelanjutannya pada lingkungan sekitar.
Ditambah lagi saat ini tidak banyakruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air. Sedikitnya ruang terbuka hijau, maka kemungkinan air terserap akan semakin kecil juga.Jikapun ada solusi ingin menambah jumlah gorong-gorong dan kanal-kanal maka akan sangat sulit dilakukan. Karena sebagian besar tanah sudah berganti menjadi aspal dan beton. Lantas, kemanakah air akan mengalir?.
Selainitu, Jakarta masih menjadi magnet untuk mengais rezeki bagi sebagian masyarakat di negeri ini. Sehingga banyak orang yang memilihuntuk bertahanhidup di Jakarta.Belum meratanya peluang kerja, menjadi salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk mengundi nasib di Ibukota.
Padatnya jumlah penduduk di Ibukota tentu berimbas pada banyaknya jumlah sampah yang ada. Saat ini plastik masih mendominasi sampah yang tersebar di masyarakat. Kondisi ini tentunya semakin diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang belum sadar pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Selain itu sampah plastik tidak bisa terurai dengan baik. Hingga akhirnya sampah banyak menumpuk di got-got, dan sungai-sungai. Kemudian menghambat aliran air, dan menyebabkan sungai meluap hingga terjadilah banjir.
Maka, banjir yang terjadi (lagi) di Jakarta dan sekitarnya tidak akan tuntas hanya dengan penyelesaian secara teknis saja. Harus ada usaha serius secara bersama-sama untuk mencampakkan kapitalisme. Dimana kapitalisme telah terbukti melahirkan banyak kebijakan yang hanya berpihak pada kepentingan penguasa dan pengusaha. Bahkan nilai-nilai kapitalisme telah nyata mengabaikan ekologi alam dan hajat hidup manusia.Tak heran jika kerusakan dan bencana akan terjadi secara berulang.
Mari kita renungkan kembali surah Ar Rum ayat 41 : “ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”*