Oleh:
Hafis Azhari
Penulis Novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
BELAKANGAN semakin muncul para pemikir dan ilmuwan yang membuka mata hatinya, hingga mereka berpendapat bahwa hakekat manusia sebagai spesies yang berpikir telah bergeser pada suatu visi baru bahwa kecerdasan intelektual hanyalah bagian terkecil dari totalitas kecerdasan yang ada pada diri manusia. Dunia keilmuwan telah diramaikan oleh penemuan baru, seperti apa yang dinamakan “kecerdasan ketiga”.
Di Indonesia sering dikenal dengan sebutan kecerdasan spiritual. Fenomena munculnya berbagai istilah yang diciptakan oleh para pencetusnya seperti Spiritual Quotient (Ary Ginanjar) atau Manajemen Qalbu (Aa Gym), telah menggeser paradigma banyak orang bahwa hakikat manusia sebagai al-hayawan al-natiq (spesies yang berpikir) telah berubah secara prinsipil kepada suatu terobosan tentang hakikat yang paling substanstif tentang keberadaan manusia itu sendiri.
Banyak ulama dan tokoh agama berpendapat bahwa kekuatan dzikir akan dapat memekarkan kecerdasan ketiga ini, yang disimbolisasi dengan nilai-nilai “ketaqwaan”. Dengan kecerdasan ketiga ini seseorang tak perlu merasa cemas dalam menghadapi berbagai tata nilai yang berkembang di masyarakat, termasuk menghadapi dampak perkembangan sains dan teknologi yang terus menginovasi diri tak ada henti-hentinya. Karena seorang ahli dzikir, biarpun ia disibukkan oleh pemanfaatan perangkat sains dan teknologi, tetap dia punya keyakinan bahwa di balik segala kecanggihan teknologi itu terdapat kekuatan Yang Maha Menciptakan dan Maha Mengendalikan segalanya. Bahkan, di balik kesibukan memanfaatkan perangkat teknologi itu terdapat pula kekuatan Yang Maha Memanage ruang dan waktu, serta menggenggam segala perubahan yang berkembang pada masyarakat dunia ini.
Seorang ulama dan kiai sufi pernah mengatakan, “Apalah yang perlu dikhawatirkan dan ditakuti oleh seseorang yang sudah dekat dan akrab sebagai kekasih Allah? Apalah yang perlu dirisaukan bila keyakinan sudah bulat bahwa solatku, ibadahku, bahkan hidup dan matiku adalah kepunyaan Allah semata? Kekuatan apa yang bisa memperdayakan seseorang bila Allah sudah memberdayakan hidupnya? Dan kekuatan apa yang mampu menolong seseorang bila Allah sudah tidak menghiraukan dirinya?
Secara ilmiah kekuatan dzikir ini disejajarkan dengan kreativitas rohani yang mengambil lokus di wilayah roh. Jadi berbeda dengan kecerdasan intelektual yang diperoleh melalui kreativitas akal yang berpusat di wilayah otak, begitupun kecerdasan emosional yang berpusat di wilayah jiwa.
Sementara itu bapak psikologi dunia Sigmund Freud memiliki istilah superego yang berfungsi sebagai aspek moral yang diimbangi dengan ego dalam kepribadian manusia untuk mencapai peningkatan diri (insan kamil). Dengan kemampuan menjaga superego inilah manusia mampu mengendalikan kekuatan ego-nya dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap keinginan id (naluri rendah).
Meskipun ada perbedaan dengan konsep Sigmund Freud, namun pada prinsipnya Ary Ginanjar menyinggung persoalan substantif yang pernah dibahas bapak psikologi dunia itu, bahwa mekanisme kecerdasan spiritual harus pula ditunjang oleh kecerdasan emosional dan intelektual. Di dalam Alquran memang ketiganya tidak dijelaskan secara terperinci meskipun secara implisit sudah disinggung bahwa ketiga pusat kecerdasan manusia itu sangat berkaitan dengan unsur jasad, unsur nafsu dan unsur roh, yang apabila ketiganya bersinergi maka akan lahirlah manusia utuh (insan kamil) yang dicita-citakan oleh semua agama di dunia ini.
Dalam kaitan ini, para ulama sependapat bahwa penyebab dasar yang membuat seorang hamba tidak bersyukur kepada nikmat Allah, yakni ketidakmampuan untuk mensinergikan ketiga kecerdasan itu, hingga jiwa-jiwa manusia telah dirusak oleh hawa nafsu yang begitu dominan. Hawa nafsu itulah yang kemudian menjerumuskan manusia ke jurang kesesatan dan kehinaan.
Unsur ketiga dari unsur jasmani, nafsani dan rohani ini adalah unsur yang paling spektakuler dan mengundang perdebatan dari masa ke masa. Sebagian ulama menafsirkan bahwa peniupan (installing) setelah unsur jasmani dan nafsani, seperti halnya yang pernah dialami Adam yang di-install roh ke dalam dirinya. Hal ini bertepatan pula dengan hadits Nabi yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa kata “an-sya’nahu” bukanlah sekadar “ja’alnahu” tetapi lebih dari itu, yakni “ja’alna insya al-ruhu fihi” (menciptakan roh ke dalam diri Adam).
Di dalam Alquran kemudian berkembang dengan istilah “lahut” dan “malakut”, suatu unsur tersendiri yang membuat manusia berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dan inilah proses terakhir sebagai penyempurna dari substansi manusia sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Hijr (28-29): “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Kemudian apabila Aku telah sempurnakan kejadiannya dan meniupkan ruh ke dalamnya, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud’.”
Pada ayat tersebut tergambar jelas, setelah unsur ketiga itu selesai, para makhluk lainnya termasuk malaikat dan jin bersujud kepadanya, dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga inilah yang mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah, repsesentasi Tuhan di muka bumi ini, di samping juga sebagai hamba (Adz-Dzariyat: 56).
Namun demikian, manusia tetaplah sebagai makhluk eksistensialis, meski dilengkapi dengan unsur rohani tadi. Karena manusia, meskipun ia adalah makhluk ciptaan yang terbaik, ia tetap mengalami naik-turunnya derajat di sisi Allah. Bahkan, tidak mustahil akan turun derajatnya ke tingkat yang lebih rendah dari binatang (asfala safilin). Karena kesempurnaan eksistensi manusia baru akan tercapai manakala ia mampu mensinergikan ketiga potensi kecerdasan yang dimilikinya: jasmani, nafsani dan rohani.
Belakangan semakin bermunculan pula para pemikir dan ilmuwan yang membuka mata hatinya, betapa penting manusia menelusuri hal-hal paling esensaial mengenai dirinya di era milenial ini. Sebab, bila hanya mengandalkan kecerdasan intelektual, ternyata manusia tak sanggup untuk mencapai derajat dan martabat tertinggi dalam mencapai ketentraman dan kedamaian hidup ini.
Dalam konteks ajaran Islam, sebenarnya fenomena kecerdasan spiritual ini bukanlah sesuatu yang baru. Para sufi dan waliullah terus-menerus menelusuri dan menggeluti fenomena ini dari zaman ke zaman, bahkan mempraktikkannya dalam aktivitas ubudiyah yang membawa manusia pada kematangan rohani.
Kehadiran roh atau unsur ketiga, memungkinkan manusia sanggup untuk mengakses kecerdasan spiritual, dan di kalangan sufi sering dikenal dengan istilah “mukasyafah”. Namun pada akhirnya setiap manusia punya potensi yang berbeda-beda dalam mengakses kecerdasan spiritual ini, hingga para wali, sufi dan alim-ulama sepertinya memperoleh kekhususan yang lebih dibandingkan orang-orang awam.
Hal ini bukan berarti kalangan jurnalis, intelektual dan politisi tidak mampu mengakses kecerdasan spiritual ini, apabila mereka punya kemauan keras untuk menggali dan meningkatkan potensi yang ada pada dirinya.*