Oleh:
Mira Anggriani, mahasisiwi
PERNYATAAN kontroversial kembali dihadirkan media baru-baru ini. Datang dari Sinta Nuriyahisteri dari Presiden ke-4 Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menaruh argumen hingga menuai polemik di masyarakat mengenai hukum jilbab.Dikutip dari Tempo.Com. (16/01/20) Sinta Nuriyah beranggapan bahwa muslimah tidak wajib mengenakan jilbab (khimar). Dirinyamenyebutkan bahwa hal tersebut didasarkannya pada tafsiran nash al-Qur’an secara kontekstual. Kemudian Ia menambahkan bahwa sosok yang menjadi rujukan tidak wajibnya menggunakan jilbab adalah RA.Kartini dan isteri-isteri ulama NU terdahulu karena tidak mengenakan jilbab meskipun sebagai seorang muslimah.
Mengenai kewajiban jilbab para ulama sepakat berdasarkan dalil-dali qath’iy di dalam al-Qur’an maupun hadits. Menutup aurat secara sempurna merupakan kewajiban bagi setiap muslimah. Jilbab adalah pakaian muslimah saat berada diruang umum (publik) yang disyariatkan dalam agama Islam. Di Indonesia istilahjilbab dan kerudung dimaknai sama.Namun, pada hakikatnya jilbab dan kerudung adalah dua hal yang berbeda. Jilbab adalah gamis (pakaian tanpa potongan) sedangkan kerudung adalah Khimar. Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa “jilbab adalah pakaian yang lebih besar dari khimar (kerudung)”. Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa jilbab adalah “ar-rada’u yaitu terowongan (pakaian yang lurus tanpa potongan yang menutupi seluruh badan)”.
Merupakan pemahaman yang dangkal ketika menjadikan praktik orang-orang terdahulu sebagai sandaran. Sejatinya, fakta tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum karena kebenarannya bersifat relatif. Alhasil, ketika menjadikan fakta sebagai sumber hukum maka pemahaman yang didapat besar kemungkinan akan fatal. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas dan serba kekurangan.Islam mengajarkan bahwa untuk mendapatkanpemahaman yang benar maka harus merujuk pada sumber yang benar pula. Sumber tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Disebutkan dalam hadits Rasulullah bagi siapa yang berpegang teguh dan menjadikan pedoman pada keduanya maka akan senantiasa terarah hidupnya.
Sesungguhnya praktik yang pantas dijadikan sebagai rujukan bagi kaum muslimin adalah orangyang paling mulia dan digelari uswatun hasanaholeh Allah yakni Baginda Rasulullah saw. Tatkala Rasulullah memimpin di Kota Madinah al-Munawwaroh, Rasulullah mewajibkan bagi setiap muslimah yang keluar rumah dengan memakai jilbab. Bahkan apabila seorang muslimah tidak memilikinya maka muslimah yang lain harus meminjamkan untuk saudarinya.
Diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah yang berkata: pada dua hari raya kami dieprintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum Muslim dan doa mereka. Seorang wanita bertanya, “ Wahai Rasulullah wanita diantara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar?)” Lalu Rasulullah bersabda: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).Hal ini tentu beralasan mengapa Rasulullah bersikap demikian. Peristiwa tersebut telah memberikan pedoman kepada kita bahwa ketika Rasulullah sebagai kepala Negara, Rasul sangat memperhatikan aturan pakaian muslimah untuk menjalankan kewajibannya mengenakan jilbab dan menjadikan muslimah yang taat akan syariat.
Begitulah sepatutnya yang harus dilakukan oleh para pemimpin saat ini. Menjadikan negara sebagai praktik praktis penerapan syariat Islam kaffah. Demi menjadikan negaranya sebagai negeri yang diberkahi dan “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghaffur” karena keimanan dan ketaqwaan penduduknya kepada syariat Allah. Negara wajib memperhatikan dan meriayah (mengurus) rakyatnya dengan baik, termasuk dalam hal urusan menutup aurat. Mewajibkan setiap muslimah menggunakan pakaian yang telah Allah tetapkan. Dengan demikian kehormatan dan iffah wanita serta keturunan dapat terjaga.
Belajar daripada sejarah kegemilangan Khilafah Islamiyyah, selama 13 Abad lamanya. Islam telah menjadi garda terdepan peradaban di dunia. Pada saat itu hanya ditemukan sekitar 200 kasus sebagai hasil penerapan syariat secara kaffah. Muslimah-muslimah yang lahir pada masa itu adalah sebaik-baik muslimah. Tak ada keburukan yang terucap dari lisan mereka terhadap syariat selain “Sami’na wa Atho’na” Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, ia berkata: Semoga Allah merahmati kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya :” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dadanya” (Q.S. An-Nur: 31), maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka dan menutup kepala mereka dengannya”. (HR.Buhkari)
Berbeda dengan negara yang menganut paham sekuler. Membebaskan wanita mengenakan apa yang disukainya termasuk pakaian yang membuka aurat sehingga mendatangkan syahwat bagi laki-laki. Maka tak heran ketika perzinaan dan kasus L8BT semakin marak karena gaya hidup liberalisme telah mendominasi diri sesorang.
Selama masih dalam kendali ideologi Kapitalis-Sekuler, penentangan terhadap syariat kerap kali terjadi. Persoalan semakin klimaks tatkala kaum muslimin tak mampu lagi memahami syariat. termasuk persoalan mengenai jilbab bagi muslimah. Jilbab akan selalu mendapatkan penentangan dari segelintir orang atau kelompok yang memiliki kepentingan tertentu. Disebabkan ide-ide sekulerisme telah ampuh meracuni pemikiran kaum muslimin hingga membuat mereka semakin jauh dari agamanya.
Maka dari itu, wajib bagi kita untuk senantiasa menjaga dan menutup aurat dengan memakai pakaian sebagaimana yang Allah perintahkan untuk menjaga kehormatan dan keiffahan kaum muslimah. Serta turut memperjuangkan penegakan hukum syariat agar umat selamat dari perbuatan maksiat yang dapat membawa laknat. Tidak perlu takut, karena disaat ramai kaum muslimah yang taat menutup aurat maka semakin takut dan kebingungan para komplotan sekulerisme melihat kebangkitan umat muslim yang akan menyongsong kemenangan Islam.*