Oleh:
Tri S, S.Si
Pemerhati Perempuan dan Generasi
KOMISI II DPR RI bersama Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sepakat untuk memastikan tidak ada lagi status pegawai yang bekerja di instansi pemerintah selain PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). (CNBC Indonesia, 20 Januari 2020).
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya mengenal dua jenis status kepegawaian secara nasional yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Meskipun pelaksanaannya bertahap, namun harus dipastikan tidak ada lagi status pegawai diluar dari yang telah diatur oleh undang-undang.
Padahal di daerah banyak sekali status guru honorer. Bagaimana nasibnya?
Anggota Komisi II DPR RI Cornelis mengusulkan agar para guru honorer yang sudah bekerja selama bertahun-tahun dan berada di daerah-daerah terpencil diberikan keistimewaan untuk bisa langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil tanpa perlu melalui tes.
Pada kesempatan itu, politisi Fraksi PDI Perjuangan ini sempat mempertanyakan masalah kesiapan pemerintah dalam rangka penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang menggunakan teknologi, khususnya menyangkut masalah server, Base Transceiver Station (BTS), dan juga slot-nya.
Penghapusan tenaga honorer ini cukup mengkhawatirkan. Pengamat Ekonomi Sumatera Utara Gunawan Benjamin berpendapat, penghapusan tenaga honorer akan mengakibatkan ledakan pengangguran. Proses transformasi mereka yang sebelumnya tenaga honorer, untuk mendapat pekerjaan yang baru cukup sukar di tengah buruknya situasi ekonomi saat ini.
Selain itu, tenaga honorer juga masih sangat dibutuhkan. Salah satunya tenaga guru honorer. Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyid mengungkapkan sekolah akan lumpuh bila tenaga dan guru honorer dihapuskan oleh pemerintah. Ia juga menambahkan bahwa distribusi guru PNS belum merata hingga ke daerah.
Terombang-ambingnya nasib tenaga honorer, pangkalnya tidak jauh dari masalah keuangan negara. Melalui Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo, pemerintah mengungkapkan anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer.
Bukan rahasia lagi, perekonomian Indonesia saat ini memang terhimpit. Hal tersebut diamini Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa penerimaan negara masih dalam kondisi sulit. Pertumbuhan ekonomi bergerak lemah. Angka PDB kian melambat. Dari 5,2 persen pada 2018 menjadi 5 persen di 2019. Bahkan Angka tersebut lebih rendah dari prediksi April lalu, yakni 5,1 persen (Portal islam, 15/11/2019).
Honorer dalam sistem Sekuler
Bagi negara yang menganut sistem sekuler-kapitalis, terjepitnya perekonomian negara yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat. Karena keadaan demikian memaksa negara berbisnis dengan rakyatnya. Pemerintah hitung-hitungan soal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti, kesehatan, pendidikan, keamanan, temasuk pengadaan lapangan kerja. Kebutuhan masyarakat didasarkan pada untung rugi.
Tidak terkecuali tenaga honorer, yang harus kecipratan buruknya regulasi sistem perekonomian dalam negeri. Mereka mau tidak mau dihapuskan, untuk mengurangi pembengkakan anggaran negara. Tenaga honorer dilepas untuk mencari kerja sendiri.
Kabar buruknya, dalam sistem kapitalis yang saat ini dianut Indonesia, peluang mendapatkan pekerjaan yang layak semakin sulit. Begitupun dengan peluang mendirikan usaha sendiri yang biasanya terlindas oleh pesaing bisnis yang bermodal lebih besar.
Pebisnis yang terlanjur kaya diberikan karpet merah oleh negara untuk menciptakan imperium bisnis, tak jarang mereka merangsek keluar batas. Komoditas milik umum atau milik orang banyak pun dengan mudah diprivatisasi. Ini bukan rahasia lagi, kita biasa menjumpai pengusaha yang bisnisnya berlabel mebel yang melebarkan sayap ke bisnis tambang batu bara. Muaranya kesejahteraan honorer dalam sistem kapitalis hanyalah ilusi.
Lapangan Pekerjaan dalam Sistem Islam
Bekerja menurut Islam adalah aktivitas yang sangat mulia. Islam telah mengarahkan bahwa motif dan alasan bekerja adalah dalam rangka mencari karunia Allah Swt. Bahkan bagi mereka yang memiliki tanggungan, seperti suami yang harus menafkahi anak dan istrinya. Maka wajib bagi suami untuk bekerja.
Bedanya islam dengan sistem kapitalis, jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun tidak memperoleh pekerjaan, sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw. bersabda:
Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Karena itu, sistem Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang untuk menikmati peningkatan taraf hidup tersebut. Jadi pemerintah bertanggungjawab atas tersedianya lapangan kerja yang memadai bagi tiap individu yang telah siap dan wajib kerja.
Adapun gaji untuk para pekerja (pegawai) diambil dari Baitul Mal. Yang bagian pemasukan yang meliputi tiga dîwân: (1) Pos Fa’i dan Kharaj: meliputi ghanîmah, kharaj, tanah-tanah, jizyah, fa’i dan pajak. (2) Pos Kepemilikan Umum: meliputi minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan, padang, gembalaan, hima, dan sebagainya. (3) Pos Zakat: meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi dan domba.
Regulasi perekonomian demikian menjadikan pemasukan negara menjadi jelas. Utamanya pengelolaan SDA yang sepenuhnya diambil alih oleh negara, tidak boleh dikelola oleh individu, swasta, apalagi asing-aseng. Dengan begitu keberadaan pegawai tidak dianggap sebagai beban bagi anggaran negara.*